BPOM Temukan Masalah Proses Uji Klinis Obat COVID-19 Unair

BPOM menemukan masalah dalam proses uji klinis obat COVID-19 Unair.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 20 Agu 2020, 08:42 WIB
Kepala BPOM Penny Lukito saat konferensi pers terkait hasil uji klinis obat untuk Covid-19 dari UNAIR di Kantor BPOM, Jakarta, Rabu (19/8/2020). Penny Lukito menyatakan hasil uji klinis tahap tiga obat Covid-19 dari Universitas Airlangga (UNAIR) belum valid. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan masalah dalam proses uji klinis obat COVID-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Adanya permasalahan tersebut menunjukkan, uji klinis tiga kombinasi obat COVID-19 belum sepenuhnya valid.

Pengembangan obat COVID-19 ini dilakukan Unair bekerjasama TNI AD dan BIN. Tiga kombinasi obat yang dimaksud adalah Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline; serta Hydrochloroquine dan Azithromycin.

"Hasil inspeksi pada tanggal 28 Juli 2020, kami menemukan beberapa temuan-temuan yang sifatnya minor (masalah), terutama dampaknya dalam uji klinik obat COVID-19 dan juga validitas dari hasil yang nanti akan didapatkan," ungkap Kepala BPOM Penny K Lukito saat konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Rabu (19/8/2020).

"Ada critical finding dalam hal randomization. Jadi, maksudnya penelitian kan harus dilakukan secara acak hingga betul-betul merepresentasikan populasi. Nah, nanti harus merepresentasikan masyarakat Indonesia sebagai subjek."

Dalam hal ini, proses uji klinis obat COVID-19 Unair belum mencapai subjek yang dapat merepresentasikan (mewakili) populasi. Penny melanjutkan, proses uji klinis obat COVID-19 harus sesuai dengan protokol yang berkaitan dengan derajat keparahan.

"Kita kan melakukan uji klinis untuk derajat keparahan, apakah sedang, ringan, dan berat. Tapi subjek obat ini  tidak merepresentasikan hal tersebut. Padahal, itu bagian dari randomization atau proses acak, yang mana validitas dari suatu riset tercapai," lanjutnya.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:


OTG sebagai Subjek Uji Klinis

Tim Unair temukan obat COVID-19 (Foto: Dok Unair Surabaya)

Salah satu permasalahan proses uji klinis obat COVID-19 Unair, yakni pemilihan subjek (orang) yang diikut sertakan dalam penelitian. Hasil temuan BPOM, uji klinis obat ini mengikutsertakan Orang Tanpa Gejala (OTG)--yang mana sekarang masuk kategori suspek.

"Ada yang diberikan obat-obatan dengan subjeknya OTG. Sesuai dengan protokolnya (uji klinis), OTG itu tidak perlu diberikan obat," papar Penny.

"Yang justru menjadi subjek penelitian proses uji klinis obat ya pasien COVID-19 dengan penyakit ringan, sedang, dan berat. Tentunya dengan pilihan masing-masing representasi dari masing-masing kategori derajat keparahan."

Adanya representasi subjek berdasarkan derajat keparahan berkaitang dengan aspek-aspek validitas obat. Hasil uji klinis pun belum menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan.

"Sesuatu riset harus memberikan hasil yang cukup signifikan berbeda dibandingkan terapi yang standar. Saya kira aspek ini, kita perlu tindaklanjuti lagi lebih jauh," jelas Penny.


Antisipasi Efek Obat

Tim medis saat menangani pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona atau COVID-19 di ruang isolasi Gedung Pinere, RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Rabu (4/3/2020). RSUP Persahabatan menangani 31 pasien dalam pemantauan dan pengawasan dari potensi terpapar virus corona. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Penny menekankan, uji klinis kombinasi tiga obat COVID-19 Unair harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu yang penting adalah efek yang bisa saja terjadi pada pasien saat menggunakan obat kombinasi.

"Obat ini adalah obat kombinasi baru ini. Kalau dilihat, indikasi dari kombinasi obat termasuk obat keras. Tentunya, ada aspek-aspek yang bisa ditimbulkan,"

"Tidak sembarangan kita bisa memberikan obat kombinasi ini pada sembarangan orang. Apalagi orang tidak sakit ya. Ke depannya, harus ada antisipasi efek obat dari tiga kombinasi obatnya."

Penny pun menambahkan, pemberian dosis juga harus diperhatikan. "Harus sudah dirancang dari riset ini. Ya, karena itu obat keras. Intinya, betul-betul ada ketaatan terhadap aspek kualitas dari hasil obat nantinya," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya