Liputan6.com, Jakarta - Isu Laut China Selatan dan klaim sepihak China di wilayah itu menjadi masalah dengan beberapa negara Asia Tenggara. China bersikeras mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai hak historis, meski tak diakui perjanjian internasional.
Kapal-kapal milik Tiongkok sering berkeliaran di Laut China Selatan. Harus diakui, China memang memiliki militer paling kuat di benua Asia. Namun, apakah tepat menggunakan militer pada isu Laut China Selatan?
Baca Juga
Advertisement
Peneliti Evan Laksmana dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mendukung pemakaian diplomasi, namun ia menyarankan penguatan keamanan maritim bagi negara claimant atau non-claimant di sekitar Laut China Selatan.
"Kita perlu berusaha untuk meningkatkan kapabilitas keamanan maritim kita," ujar Evan dalam acara Calming Troubled Waters in the South China Sea yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (PFCI), Rabu (19/8/2020).
Meski demikian, Evan mengakui di beberapa negara ada yang keamanan maritimnya lebih rumit, seperti di Indonesia. Itu berbeda dengan negara lain yang keamanan maritimnya lebih streamlined.
Pengembangan militer untuk menyaingi China dianggap lebih mahal mengingat ukuran militer China yang lebih besar.
Evan juga ragu terhadap ide menggabungkan kekuatan maritim di wilayah Asia Tenggara untuk menyaingi China. Selain itu, konflik di Laut China Selatan dianggap merugikan bagi semua pihak.
"Bisakah kita semua berkumpul bersama dan mengembangkan kapabilitas militer untuk melawan China? Tidak ada yang menginginkan itu pada titik ini. Sebuah konflik di Laut China Selatan tidak menguntungkan siapa-siapa," jelas Evan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Peran Natuna
Pendapat serupa dinyatakan mantan duta besar Indonesia, Hasjim Djalal. Ia menyebut memperkuat keamanan perlu, tetapi tak menyarankan penyelesaian isu lewat militer.
"Saya tidak berpikir pendekatan militer benar-benar direkomendasi. Tetapi kita harus bersiap untuk segala bahaya dan masalah," ujarnya.
Hasjim Djalal pun memberi masukan agar memperkuat kehadiran di Natuna untuk segi keamanan hingga sains. Ia menilai bahwa Natuna bagi Indonesia mirip dengan Hawaii di Amerika Serikat, sehingga bisa dioptimalkan.
"Saya membayangkan Natuna bagaikan Hawaii bagi Amerika Serikat. Hawaii bagi Amerika Serikat adalah pos untuk melihat ke barat, untuk melihat bagaimana mereka menggunakan dan memberdayakan situasi di Samudera Pasifik," jelas Hasjim.
Ia lantas mendorong agar Natuna juga bisa diberdayakan untuk aspek keamanan, sumber daya, hingga ilmu pengetahuan.
Advertisement