BPOM Sebut Hasil Uji Klinis Obat Kombinasi Covid-19 dari Unair Belum Valid

Penny mengatakan BPOM memiliki koreksi terhadap uji klinis obat covid-19 tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Agu 2020, 20:31 WIB
Tim Unair temukan obat COVID-19 (Foto: Dok Unair Surabaya)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sudah melakukan inspeksi pertama terkait uji klinis obat Covid-19 hasil kerja sama dari pihak Universitas Airlangga, Badan Intelejen Negara, Polri, dan TNI AD, pada Selasa (28/7) lalu . Dari hasil inspeksi Kepala Badan POM Penny K. Lukito hasil uji klinis obat tersebut belum valid.

"Status yang kami nilai adalah masih belum valid jika dikaitkan dengan hasil inspeksi kami," kata Penny dalam siaran telekoference, Rabu (19/8/2020).

Penny mengatakan pihaknya memiliki koreksi terhadap uji klinis obat covid-19 tersebut. Pertama obat tersebut belum bisa merepresentasikan populasi.Menurut dia suatu riset penelitian harus dilakukan secara acak, sehingga bisa mewakili masyarakat Indonesia.

"Jadi dari pasien sebagai subjek yang dipilih menunjukan sampel acak seperti protokol yang ada misalnya variasi demografi dari derajat keparahan, sakitnya kan derajat ringan, sedang, parah tapi subjek dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman atau acak itu validitas suatu riset," ungkap Penny.

Selain itu pihaknya juga menemukan dalam uji klinis tersebut orang tanpa gejala (OTG) diberikan obat terapi. Padahal kata Penny dalam protokol penelitian OTG tidak perlu diberikan terapi obat covid-19.

"Padahal OTG tidak perlu diberikan obat, karena dalam protokol bukan OTG kita mengarah penyakit ringan, sedang dan berat," jelas Penny.

 

 


Belum Signifikan

Selanjutnya dalam uji klinis tersebut harus memiliki representasi. Namun saat ini, kata Penny, hasil uji klinis tersebut belum menunjukan hasil signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar.

"Jika penelitian harus menunjukkan satu riset ada menunjukkan suatu yang intervensi baru tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan dibandingkan terapi standar, asitomisin itu tidak signifikan terlalu besar, jadi perlu ditindak lanjuti lagi," ungkap Penny.

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka.com

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya