Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Meriana menatap kosong di salah satu ruang rumahnya, memandang nanar ke arah tumpukan barang kerajinan tangan produksinya. Kalender di rumahnya menunjukkan akhir Bulan Maret 2020.
Pandemi Covid-19 baru saja dimulai. Seluruh aktivitas warga di luar rumah sangat dibatasi.
Perempuan Suku Dayak Benuaq asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur itu baru saja menyelesaikan produk kerajinan tangan khas Kalimantan. Sejumlah even pameran sudah siap diikuti sehingga banyak produk dia siapkan.
Baca Juga
Advertisement
“Saya termasuk yang paling terpukul karena sudah produksi kerajinan tangan mulai dari tas, baju, manik-manik dan beragam aksesoris cukup banyak. Kami sedang menyiapkan diri untuk ikut pameran-pameran,” keluh Meriana saat ditemui di rumahnya di Jalan Gunung Belah, Gang Beringin 3, Tenggarong, Kamis (20/8/2020).
Dia bercerita, pandemi memang membuatnya tak hanya terpukul, namun jatuh, nyaris ambruk. Tak ada pemasukan sama sekali.
Padahal, Meriana memiliki sejumlah pengrajin yang hidupnya tergantung dari usahanya. Sebelum pandemi, mereka saling bekerjasama menciptakan produk kerajinan yang lumayan laris di Pasaran.
“Ada pesanan yang sudah kita buatkan dan siap kirim, ternyata dibatalkan. Semuanya numpuk, saat itu cuma bisa pasrah,” cerita Meriana.
Tak lama berselang, Meriana yang memiliki keahlian menjahit mencoba meproduksi masker kain. Tak disangka, kebutuhan masker saat awal pandemi mendatangkan berkah baginya.
“Pesanan masker kain saat itu mulai banyak. Perlahan penjahit saya dapat orderan sangat banyak, kami pun bersemangat lagi,” katanya.
Pesanan masker mulai dari perorangan, perusahaan, hingga instansi pemerintah terus berdatangan.
“Ada yang pesan satuan, lusinan, hingga ribuan yang membuat kami sempat kewalahan,” katanya.
Namun itu tak berlangsung lama. Produksi massal dan pembagian masker gratis oleh banyak pihak membuat usaha masker kain redup kembali.
Meriana mulai memutar otak, berinovasi menciptakan produk baru. Di pikirannya, dia harus tetap menghidupi keluarganya dan warga yang bergantung dengan usaha kerajinannya.
Simak juga video pilihan berikut
Iseng Bikin Masker Sulam Tumpar
Dua bulan lalu, saat sedang tak ada pesananan apapun, Meriana iseng membuat masker kain berhiaskan sulam tumpar. Sulam ini merupakan kerajinan khas Suku Dayak benuaq.
“Saya iseng bikin terus pakai dan share di Facebook. Responnya ternyata luar biasa dan banyak yang minta dibuatkan,” kata Meriana.
Sejak itulah kemudian dia mulai memproduksi masker berhiaskan sulaman. Produksi masker ini ikut menggerakkan pengrajin yang selama ini mati suri.
“Saya membuat masker ini agar supaya pengrajin saya tidak kosong kerjaan, makanya saya terpikir membuat masker ini dengan kolaborasi motif sulam tumpar,” sebutnya.
Sekarang ini, tambahnya, selain menjadi kebutuhan dasar kehadiran masker juga menjadi mode di dunia fashion.
“Selain menjadi pelindung diri, masker ini juga menjadi bagian mode dari fashion, dengan seperti itu kehadiran sulam tumpar di masker tersebut setidaknya menjadi gaya baru bagi pemakainya,” imbuhnya.
Advertisement
Butuh Waktu Cukup Lama
Kendala dalam pembuatan masker ini karena pengerjaannya yang memakan waktu cukup lama. Untuk menghasilkan satu masker Sulam Tumpar motif tertentu, Meriana menyebut dibutuhkan waktu setidaknya tiga hari pengerjaan.
“Proses menyulamannya yang memerlukan waktu yang cukup lama, lantaran dikerjakan secara manual oleh para pengerajin,” katanya.
Selain itu, pengrajin binaannya juga mengerjakan di sela aktivitas sebagai ibu rumah tangga.
“Kalau dilakukan seperti pekerja pada umumnya yang masuk pagi pulang sore, satu hari bisa satu masker, bahkan dua masker. Pengrajinnya ibu rumah tangga yang masih tetap harus urus dan jaga anak,” ungkap Meriana.
Dalam sebulan lanjut Meriana, dirinya bisa memproduksi 100 masker sulam tumpar. Harganya pun bervariasi.
“Untuk satu sisi sulam tumpar dijual dengan harga Rp45 ribu hingga Rp50 ribu. Sementara untuk dua sisi harganya Rp70 ribu hingga Rp80 ribu,” ungkapnya.
Selain memperoduksi masker Sulam Tumpar, Meriana juga mengaku jika hingga kini dirinya juga telah memproduksi masker dengan motif manik-manik.
“Keduanya sama butuh waktu yang sama dalam pengerjaanya, harganya pun sama dengan masker sulam tumpar,” paparnya.
Kini pesanan masker Meriana bukan hanya di wilayah Kutai Kartanegara saja. Meriana mengaku mendapat pesanan masker ini hingga Pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
Kenalkan Budaya Daerah
Meski tak lagi bisa memproduksi kerajinan tangan seperti sebelum pandemi, Meriana mengaku bersyukur masker kain sulam tumpar bikinannya mendapat respon positif dari masyarakat. Dia pun berharap bisa terus memproduksi agar bisa mengenalkan budaya Dayak Benuaq.
“Kalau dulu, jika ingin punya aksesoris Dayak Benuaq harganya mahal. Misalnya tas saja itu sampai ratusan ribu. Sekarang cukup Rp40 ribu saja sudah bisa memiliki masker dengan sulaman khas Dayak Benuaq,” sebutnya.
Inovasi Meriana ini dalam mebuat masker bermotif sulam tumpar maupun manik-manik ini turut mencuri perhatian Ketua Dekranasda Kutai Kartanegara, Maslianawati.
Menurut istri Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah ini, di tangan seorang Meriana masker olahan rumahan yang terbuat dari kain itu menjadi istimewa. Maslianawati menilai, motif dan variasi yang disajikan berupa sulam tumpar terbilang unik dan mewah, bahkan memiliki keraifan lokal.
“Saya mengapresiasi wujud kreativitas sorang Meriana yang membuat masker dan dipadukan dengan sulam tumpar, ini hal yang unik dan bernilai seni tinggi,” ujar Maslianawati.
Advertisement