Bola Ganjil: Propaganda Hutu dan Genosida Rwanda

Simak kisah sepak bola di tengah genosida Rwanda pada 1994.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 21 Agu 2020, 15:00 WIB
Juvanal Habyarimana, mantan presiden Rwanda. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Hampir tiga dekade silam, Rwanda merasakan salah satu kekejaman dalam sejarah peradaban manusia. Genosida terjadi dan memakan sekitar satu juta hanya dalam hitungan seratus hari.

Sasaran adalah anggota Tutsi, dengan kelompok Hutu yang membela dan melindungi juga jadi target. Perang saudara ini akhirnya menciptakan kekacauan di seluruh aspek kehidupan, termasuk sepak bola.

Latar belakang genosida di Rwanda sungguh menyedihkan. Hutu dan Tutsi adalah dua kelompok etnis di Rwanda yang dibagi oleh Jerman pada masa kolonial. Belgia, yang kemudian mengambil alih kontrol, kemudian mengidentifikasi Tutsi sebagai kelompok superior.

Setelah Rwanda merdeka, pemilahan tersebut menciptakan masalah. Kedua kelompok tidak percaya satu sama lain. Ibarat bom waktu, prasangka itu akhirnya meledak pada 1990an. Hutu mendobrak mengklaim kekuasaan. Mereka mendirikan radio untuk keperluan propaganda dengan mendiskreditkan Tutsi.

Kedua pihak sempat duduk bersama dan membicarakan perdamaian. Namun, perseteruan akhirnya pecah usai pesawat yang membawa Juvenal Habyarimana, ketika itu menjabat presiden Rwanda, ditembak hingga kandas sebelum mendarat di Kigali.

Tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab. Namun, radio tersebut menyalahkan pemberontak Tutsi.

Mereka kemudian menginstruksikan kelompok militer Interahamwe serta milisi Hutu untuk membantai setiap anggota Tutsi yang ditemui. Radio tersebut juga mengajak masyarakat sipil berpartisipasi.

Selama seratus hari, kelompok tersebut pergi dari rumah ke rumah dan mencabut nyawa Tutsi, yang bisa dibedakan melalui penampilan etnik dan kartu identitas.

Saat ini, Rwanda melarang penggunaan istilah Hutu dan Tutsi untuk menyatukan bangsa dan menghindari konflik di antara kedua kelompok.

Saksikan Video Rwanda Berikut Ini


Kisah Eric Murangwa

Eric Eugene Murangwa selamat dari genosida Rwanda. Dia mencari suaka ke Inggris dan mendapat gelar Member of the Order of the British Empire (MBE), Maret 2018. (AFP/Dominic Lipinsk)

Kisah sepak bola di tengah genosida Rwanda melibatkan Eric Murangwa. Beberapa kali dia menghindari maut karena profesinya.

Murangwa adalah anggota Tutsi yang menjaga gawang Rayon Sports. Pada hari pertama pembantaian, dia selamat ketika milisi Hutu yang hendak mengeksekusi mengenalinya melalui foto tim. Murangwa pun tidak jadi dibunuh karena milisi itu penggemar klub yang diperkuatnya.

Menghadapi anggota milisi lain atau Interahamwe, Murangwa mungkin tidak semujur itu. Dia kemudian menghabiskan mayoritas periode genosida di bawah perlindungan Zuzu, anggota milisi Hutu yang juga mendukung Rayon Sports.

Kemurahan hati para milisi itu kemungkinan besar disebabkan pertandingan sebulan sebelum genosida terjadi. Rayon Sports sukses menyingkirkan klub terbesar Sudan, Al-Hilal Omdurman, pada ajang Piala Winners Afrika.

Meski tensi perang saudara ketika itu sudah terasa, kemenangan ini menyatukan warga Hutu dan Tutsi. Sayang Rayon Sports akhirnya mundur dari turnamen karena konflik dalam negeri kemudian pecah.


Menarik Simpati

Fabien Neretse dinyatakan bersalah atas genosida di Rwanda tahun 1994. Foto: Di depan gedung pengadilan di Brussels, 19 Desember 2019 (Source: AFP/ J. Thys)

Saat perang saudara terjadi, politisi Rwanda menggunakan sepak bola untuk menarik simpati. Popularitas cabang olahraga tersebut memudahkan mereka mendapat dukungan dari kalangan penggemar. Anggota Interahamwe bahkan sengaja mendirikan klub bernama Loisirs pada 1991 agar suporter mendukung Hutu.

Interahamwe dan milisi Hutu pada akhirnya dituduh sebagai dua kelompok yang bertanggung jawab atas genosida. Namun, sepak bola juga memainkan peran tidak kalah besar dalam mendukung Hutu meraih kekuasaan. Meski begitu, cabang olahraga itu juga memiliki peran positif ketika genosida berakhir.


Kebangkitan Rwanda

Badan PBB urusan kesejahteraan anak (UNICEF) memperkirakan, 95.000 anak-anak menjadi yatim dan/atau piatu usai Genosida Rwanda (AFP PHOTO)

Kelompok pemberontak Tutsi Rwanda Patriotic Fund (RPF) sukses mengusir milisi Hutu setelah genosida berlangsung 100 hari. Rwanda trauma dan kehilangan 40 persen populasinya. Ekspektasi hidup turun 28 tahun dan ekonomi negara berantakan.

Dalam kondisi itu, sepak bola berkontribusi dengan menggelar berbagai turnamen yang mengenang peristiwa berdarah di dalam negeri. Kehadiran kompetisi itu membuat masyarakat bersatu karena mereka tidak melupakan atau menyangkalnya.  

Kini Rwanda sudah bangkit dan menjadi sebagai salah satu negara teraman di Afrika plus ekonomi stabil.

Hasilnya juga terlihat di lapangan. Rwanda lolos untuk pertama kali ke turnamen besar yakni Piala Afrika 2004. Sempat jadi tuan rumah Piala Afrika U-17 2011, mereka juga melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 2019. Sayang Rwanda kalah dari Peru.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya