Dampak Skema Burden Sharing, Rupiah Bakal Makin Tergerus?

Keputusan pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) mendanai sebagian defisit anggarannya yang semakin membengkak turut berimbas pada rupiah.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 21 Agu 2020, 13:45 WIB
Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Rupiah secara point to point pada triwulan II 2020 mengalami apresiasi 14,42 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) mendanai sebagian defisit anggarannya yang semakin membengkak turut berimbas pada rupiah. Nilai tukar mata uang garuda tersebut menjadi salah satu yang terburuk di Asia sepanjang 2020 ini.

Pemerintah sebelumnya mengajukan burden sharing, dimana bank sentral membeli obligasi pemerintah senilai Rp 397,6 triliun. Utang tersebut bakal bantu membiayai defisit anggaran yang membesar akibat peningkatan pengeluaran guna memerangi virus corona (Covid-19).

Program monetisasi utang ini dianggap sebagai cara yang tidak familiar, dimana hanya dipakai oleh bank sentral di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa. Tapi pada kenyataannya, semakin banyak bank sentral di negara berkembang seperti Filipina dan Afrika Selatan yang juga telah mengadopsi beberapa bentuk pelonggaran kuantitatif.

"Meski BI telah membeli obligasi pemerintah, itu (monetisasi utang) cukup mengejutkan untuk pasar di negara berkembang," kata Direktur Investasi Pendapatan Tetap M&G Investments Pierre Chartres, seperti dikutip CNBC, Jumat (21/8/2020).

Sejak Pemerintah RI mengumumkan program monetisasi utang bulan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah turun 2 persen. Para investor juga khawatir langkah tersebut bakal menperluas basis moneter, yang pada akhirnya bakal semakin membuat rupiah lemah.

Direktur dan Analis Utama Fitch Ratings untuk Indonesia, Thomas Rookmaaker mengemukakan, jika dihitung sepanjang tahun ini, kurs rupiah telah menciut 6 persen terhadap dolar AS, menjadikannya mata uang berkinerja terburuk di Asia.

"Pihak otoritas sudah mengindikasikan bahwa monetisasi utang akan dilakukan satu kali tahun ini. Pada saat bersamaan, hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan terkait pendekatan kebijakan Indonesia untuk jangka menengah," ungkapnya.

"Jika itu terjadi berulang kali selepas 2020 ini, maka berpotensi meningkatkan campur tangan pemerintah dalam kebijakan moneter, dan dapat menurunkan kepercayaan investor," dia menambahkan.

Cara Pemerintah RI memonetisasi utang dalam beberapa hal berbeda dari bank sentral AS, The Fed yang membeli aset di bawah program pelonggaran kuantitatif. Aksi pembelian The Fed sebagian besar dilakukan melalui pasar terbuka, sementara BI membeli Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah lewat penempatan pribadi, dan tidak akan menerima bunga atas obligasi tersebut.

Selain itu, BI juga akan menjadi pembeli siaga dan bantu membayar suku bunga untuk obligasi pemerintah senilai Rp 177 triliun, yang bakal dijual di pasar lelang.

"Pendekatan BI yang bertujuan untuk mengurangi beban bunga bagi pemerintah dengan tetap mempertahankan tingkat suku bunga lebih tinggi, juga daya tarik utang untuk sektor swasta, terbilang cukup inovatif," ujar Pierre Chartres.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Skema Burden Sharing Bisa Bikin Target Inflasi 2021 Meleset

Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah mematok inflasi di 2021 akan terjaga di angka 3 persen. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato nota keuangan RAPBN 2021 di Gedung DPR RI.

Ekonom Indef Bhima Yudistira menilai, pemerintah tetap harus berhati-hati meskipun di masa pandemi ini angka inflasi terjaga di kisaran 1 persen. Namun, pemerintah tidak boleh lupa akan burden sharing yang dilakukan Bank Indonesia (BI).

Langkah ini di masa depan bisa mengancam inflasi tahun 2021 karena adanya kenaikan peredaran uang di saat permintaan sedang rendah. Kondisi ini bisa meningkatkan inflasi di atas 3 persen, bahkan bisa mencapai 5 persen.

"Jadi ini yang juga bisa meningkatkan inflasi di atas 3 persen, maka inflasi bisa mencapai angka 5 persen," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat, (14/8/2020).

Bhima menilai pemerintah masih kurang maksimal dalam mengambil keputusan dengan sudut pandang krisis. Sebab optimisme pemerintah masih terlalu menawarkan jargon-jargon selaiknya mengumbar janji kampanye.

Padahal, saat ini bukan lagi waktunya bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret dengan indikator yang terukur. "Sekarang yang dibutuhkan adalah langkah-langkah konkret indikator yang lebih terukur," kata dia.

Misalnya QPA yang lebih jelas, daya dorong dan program extraordinary. Dia juga melihat belum ada keseriusan pemerintah dalam memberikan dukungan beberapa sektor yang membutuhkan dana tambahan di masa pandemi.

"Biaya pendidikan masih 20 persen saja padahal sekarang banyak siswa yang kesulitan akses internet kuota mahal, itu nggak ada tuh kepedulian ke sana," tutur dia.

Begitu juga dengan pendidikan UMKM yang belum ada rencana memberikan subsidi untuk internet. Hal inu juta belum disentuh oleh pemerintah.

"Banyak hal yang belum disentuh sih saya kira di dalam pidato pidato Pak Presiden hari ini," katanya mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com


Penurunan Suku Bunga BI Bakal Bikin Rupiah Melempem?

Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Penguatan Rupiah dipengaruhi aliran masuk modal asing yang cukup besar pada Mei dan Juni 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, aksi Bank Indonesia (BI) yang menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 4 persen merupakan keputusan tepat.

Menurut dia, bank sentral memang perlu memberi waktu agar kebijakan sebelumnya efektif direspon oleh perbankan. Seperti diketahui, BI sebelumnya telah menurunkan BI7DRR ke level terendah sepanjang sejarah.

Selain itu, Piter berpendapat, penurunan suku bunga tersebut tidak akan berdampak signifikan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

"Pelemahan rupiah lebih disebabkan penguatan indeks dolar, bukan oleh interest rate differential. Aliran modal masuk relatif stabil di tengah kondisi likuiditas global yang masih berlimpah," jelas Piter kepada Liputan6.com, Jumat (21/8/2020).

Sebagai catatan, pasca pengumuman suku bunga acuan BI, nilai tukar rupiah di pasar spot menguat 0,59 persen ke level Rp 14.722 per dolar AS. Penguatan tersebut menjadi yang terbesar dibanding mata uang Asia lainnya.

Lebih lanjut, Piter mengatakan, kebijakan menahan suku bunga bisa berakibat fatal bila dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Imbasnya, kebijakan tersebut dapat mendorong keluarnya modal asing yang kemudian berdampak ke pelemahan rupiah.

"Tapi saat ini kondisi likuiditas global sedang berlimpah sehingga penurunan suku bunga acuan tidak banyak berdampak ke pelemahan rupiah," ujar Piter.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya