Liputan6.com, Jakarta Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menegaskan aturan ganjil genap belum berlaku untuk motor pribadi, meskipun aturan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.
"Belum, jadi untuk gage tetap berlaku 25 ruas jalan, hanya roda 4 dengan 14 pengecualian kemudian berlakunua mulai jam 6 sampai jam 10, kemudian jam 16.00 sampai jam 21.00," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (21/8/2020).
Advertisement
Wacana pemberlakuan ganjil genap motor telah bergaung sejak awal Juni 2020 lalu. Kala itu, Gubernur Anies Baswedan mengungkapkan akan menerapkannya sebagai bentuk penekanan penyebaran virus corona. Namun begitu, dia menyatakan akan membatalkannya bila perkembangan covid-19 di DKI menurun.
Namun dalam tempo belakangan ini, terutama setelah diberlakukan PSBB transisi, grafik kasus covid-19 di Jakarta menunjukkan peningkatan. Dan rencana pemberlakuan ganjil genap untuk motor pun kembali mencuat.
Pro kontra pun terjadi menyikapi kebijakan tersebut.
Pengamat Transportasi Muslich Zainal Asikin menilai, tak ada salahnya mencoba aturan yang dibuat Pemprov DKI soal ganjil genap sepeda motor. Muslich berharap, masyarakat memahami tujuan pemerintah untuk membatasi kendaraan terutama sepeda motor. Hal ini, kata dia, tentu untuk mencegah penyebaran COVID-19 sebab pesepeda motor paling berpotensi membuat kerumunan di jalan.
"Dalam rangka pembatasan, sebetulnya ya arahnya ke sana. Jadi dalam rangka ngerem supaya mobilitas itu berkurang," kata Muslich kepada Liputan6.com di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Muslich yakin aturan ganjil genap untuk sepeda motor ini bersifat sementara.
"Pemerintah DKI itu kan bukan lagi soal rumah sakit, bukan soal yang sembuh, tapi kan soal bagaimana penularan tidak berlangsung. Sepeda motor itu potensi untuk membangkitkan kerumunan," kata dia.
Dia mengatakan, dengan aturan ini pemprov DKI justru mengarahkan agar masyarakat menggunakan transportasi publik. Sebab, sudah ada aturan baku di dalam transportasi umum misalnya dengan menjaga jarak antar penumpang. Sementara lebih sulit mengendalikan kerumunan sepeda motor ketimbang dalam akutan umum.
"Untuk pemprov itu berat, karena akan ada shifting, peralihan ke arah public transport. Sehingga beban Transjakarta menjadi semakin berat. Karena kan dibatasi jumlah penumpangnya, sehingga kebutuhan busnya akan semakin banyak. Tapi itu akan membantu pemulihan pandemi," ujar dia.
Namun, kata Muslich, perlu ada evaluasi terhadap PSBB transisi yang baru mengatur soal ganjil genap kendaraan roda empat.
"Kan hampir kita semua ini kan tidak punya pengalaman terhadap pengendalian pandemi khususnya Corona ini," kata dia.
Muslich pun mendukung pemprov DKI untuk mencoba aturan ini. Jika nanti keliru, kata dia, masih bisa dievaluasi.
"Tapi memang harus dicoba pembatasan penggunaan sepeda motor itu karena potensi memberikan efek bergerombol sepeda motor 72 persen loh," kata dia.
Namun, kata dia, lebih baik aturan untuk sepeda motor tidak berdiri sendiri. Perlu adanya aturan soal penataan parkir.
"Karena itu kan berkaitan dengan kerumunan orang juga. Jadi artinya nggak boleh ganjil genap sepeda motor dibuat sebagai aturan sepeda motor saja. Parkir juga harus ditata. Jadi nanti akan menjadi lebih bagus pasti," tandas Muslich.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Nyambung
Sementara itu, Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan justru menilai aturan ganjil genap bagi sepeda motor tak nyambung dengan upaya pencegahan penyebaran virus COVID-19. Tigor mengatakan, aturan ini justru kontradiktif dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Kebijakan ganjil genap, kata dia, adalah upaya untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi agar masyarakat berpindah menggunakan transportasi umum dan mengurangi kemacetan di jalan raya. Sementara kebijakan PSBB masa transisi adalah upaya mengendalikan atau menangani penyebaran COVID-19 agar masyarakat hidup sehat dan produktif. Selain itu, selama masa PSBB Transisi ini juga diatur bahwa kapasitas layanan transportasi atau angkutan umum massal dikurangi hingga 50 persen.
"Apakah ini akan aman dan dan dapat menampung berpindahan masyarakat dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal di Jakarta?" ujar Tigor kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (9/6/2020).
Menurut Tigor, perhitungan antara perpindahan jumlah masyarakat ke angkutan umum ini harus benar-benar diantisipasi. Ada ketidaksesuaian antara kebijakan ganjil genap dalam kebijakan PSBB Transisi di Jakarta. Kebijakan pertama, kata dia, penggunaan kendaraan pribadi didorong pindah ke angkutan umum. Kebijakan kedua ada mengatur mengurangi 50 persen layanan angkutan umum massal dari biasanya.
"Bukankah akan terjadi lonjakan atau peningkatan pengguna layanan angkutan umum massal? Padahal tujuan atau target PSBB Transisi dalam Pergub nomor 51 Tahun 2020 adalah untuk mencapai masyarakat sehat dan produktif," kata dia.
Dengan beralihnya masyarakat ke transportasi umum, kata Tigor, akan terjadi penumpukan atau kerumunan di terminal atau stasiun maka akan terjadi penyebaran COVID-19.
"Untuk itu sebaiknya selama penerapan kebijakan PSBB Transisi di Jakarta seharusnya tidak disertai kebijakan pengendalian ganjil genap penggunaan kendaraan bermotor pribadi," tandas Tigor.
Advertisement