Liputan6.com, Jakarta - Di tengah masa pandemi Covid-19, pemerintah memutuskan mengizinkan membuka sekolah di zona kuning dan hijau. Melalui penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021, pemerintah mengambil risiko untuk kembali mengaktifkan pembelajaran sekolah dengan standar protokol kesehatan yang ketat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyebut, hal itu dilakukan karena banyak kendala penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19.
Advertisement
"Di masa PJJ ini sangat sulit, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Banyak sekali guru yang kesulitan mengelola PJJ dan kemudian banyak juga yang terbebani harus melakukan penuntasan kurikulum pelajaran," ujar Nadiem melalui Channel Youtube Kemendikbud, Jumat (7/8/2020).
Nadiem mengatakan, selain para tenaga pendidik, kritikan terhadap PJJ juga datang dari para orang tua murid yang kesulitan mengikuti metode belajar daring. Karena kesibukan kerja maupun kesulitan beradaptasi saat mendampingi anaknya belajar dari rumah.
Selain itu, ada juga orangtua yang kesulitan memotivasi anak-anaknya untuk belajar. Ditambah lagi kesulitan dalam hal memahami materi pelajaran atau kurikulum yang terlihat lebih rumit. Belum lagi meningkatnya stres dan jenuh akibat isolasi yang berkelanjutan serta berpotensi menimbulkan rasa cemas dan depresi pada anak.
"Bagi siswa efek yang bisa sangat negatif dan permanen. Ada tiga dampak utama, satu ancaman putus sekolah, persepsi penurunan capaian belajar, dan kesenjangan," ujarnya.
Dia juga menerangkan soal ancaman putus sekolah di tengah pandemi Covid-19 bisa terjadi, lantaran ada sebagian siswa diminta bekerja karena penerapan PJJ oleh sekolahnya tidak optimal. Selain itu, ada persepsi orangtua yang memandang peran sekolah dalam proses pembelajaran sudah bergeser.
"Mereka merasa sekolah tidak optimal. Karenanya ancaman putus sekolah adalah dampak yang real dan bisa berdampak seumur hidup bagi anak-anak kita," tutur Nadiem.
Lebih lagi menurut mantan bos Gojek itu, PJJ membuat pencapaian belajar siswa tidak optimal. Hal ini disebabkan, adanya kesenjangan kualitas antara anak yang punya akses ke teknologi dan yang tidak.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) jauh sebelumnya mewanti-wanti agar pemerintah menggeser Tahun Ajaran Baru 2020/2021 dari semula dimulai pada 13 Juli 2020 ke Januari 2021.
Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim beralasan ada beberapa pertimbangan penundaan tahun ajaran baru ini, salah satunya guna memberikan kepastian bagi dunia pendidikan untuk memiliki langkah-langkah yang jelas terutama terkait minimnya jumlah guru yang memiliki kemampuan tinggi dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh.
“Data Kemendikbud yang disampaikan oleh Plt. Dirjen Dikdasmen menunjukkan lebih dari 60 persen guru bermasalah dalam PJJ karena ketidakmampuan guru dalam penguasaan teknologi. Jika penguasaan teknologi saja lebih dari 60 persen bermasalah maka bagaimana kita bisa berharap guru menghadirkan PJJ yang menyenangkan dan berkualitas?” kata Ramli kepada Liputan6.com, Jumat (29/5/2020).
Saat itu Ramli mengingatkan Kemendikbud supaya membuka mata bahwa realitas sekolah jarak jauh di Indonesia masih bermasalah.
"Dan inilah yang selama ini dikerjakan kawan-kawan IGI yang justru tak kami lihat adanya upaya Kemendikbud menuntaskan masalah rendahnya kemampuan guru melaksanakan PJJ. Dan karena itu, IGI siap mengambil tanggung jawab itu dengan syarat Kemendikbud memberikan tanggung jawab itu secara resmi ke IGI,” tegas dia.
Dengan menggeser tahun ajaran baru, Kemendikbud juga bisa fokus meningkatkan kompetensi guru selama enam bulan agar di bulan Januari sudah bisa menyelenggarakan PJJ berkualitas.
Pertaruhan Nyawa Anak
Presiden Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan menolak pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19 karena dinilai mempertaruhkan nyawa anak Indonesia. Pasalnya, menurut Aman, kategorisasi zona Covid-19 sebagai penentu boleh tidaknya sekolah menggelar pembelajaran tatap muka dinilai kurang kredibel. Dia bahkan menyebut jangan mempercayai zonasi Covid-19 di Indonesia.
"Ini sangat dinamis datanya, jangan percaya zona di Indonesia," tegas Aman saat diskusi daring, Senin, 17 Agustus 2020.
Menurut Aman, zonasi Covid-19 yang ditetapkan pemerintah tidak real time. Artinya zonasi saat ini berpatokan pada temuan kasus pada satu atau dua pekan yang lalu.
Dia bahkan mengaku pernah menemukan zona yang dikatakan hijau oleh pemerintah, tapi saat dikonfirmasi kepada koleganya yang berada di wilayah tersebut ditemukan kasus Covid-19 terhadap anak.
"Semua zona-zona ini saya tidak sepakat. Pernah ada zona dikatakan hijau, saya telepon ketua IDAI-nya, gimana zona ini? Oh kita ada kasus baru anak," jelas Aman.
"Zona ini data kasus seminggu dua minggu lalu. Data kemarin kan kita tidak tahu," sambungnya.
Hal yang sama juga disuarakan oleh pakar Epidemiologi Iqbal Elyazer yang mengingatkan pemerintah soal bahaya pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19.
Iqbal menegaskan bahwa satu nyawa anak Indonesia tak lebih kurang nilainya dibanding dengan orang lain, termasuk nyawa presiden.
"Satu nyawa anak pun tidaklah kurang nilainya dari satu nilai nyawa presiden. Satu nyawa menteri pun itu sama nilainya dengan satu nyawa anak manapun di negeri ini," tegas dia.
Iqbal menjelaskan, tugas utama pemerintah adalah melindungi segenap warganya. Sementara, tugas mencerdaskan ada setelah perlindungan ini berhasil dijamin.
"75 tahun yang lalu pemerintah Indonesia dibentuk dengan tugas melindungi segenap bangsa Indonesia, melanjutkan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Urutannya, lindungi, kesejahteraan, cerdaskan," jelasnya.
"Setiap keputusan pemerintah harus diverifikasi terhadap ketiga tujuan ini. Sekarang pertanyaannya adalah apakah keputusan membuka pengajaran tatap muka itu merupakan tindakan melindungi atau malah tindakan yang mengancam keselamatan jiwa?" ucap Iqbal.
Menyangkut zonasi, Iqbal mengkritisi penzonasian yang dilihatnya kurang efektif. Dia menimbang penzonasian kasus Covid-19 saat ini masih berdasarkan jumlah temuan kasus Covid-19, yang mana tergantung jumlah dan sebaran tes masif.
"Soal zonasi hijau kita sudah ribut sejak akhir Mei untuk berhati-hati menggunakan istilah zonasi hijau, zonasi tidak terdampak. Karena sama sekali mengandalkan jumlah kasus, jumlah pemeriksaan," paparnya.
Menurut Iqbal, zonasi yang dibuat pemerintah akan kredibel hasilnya bilamana disertai publikasi jumlah telusur kasus di tiap kabupaten/kota.
"Pemerintah tidak berani menampilkan jumlah pemeriksaan per kabupaten/kota, karena di situlah kita akan melihat keseriusan mereka untuk mencari, melacak, dan melakukan penanggulangan. Sampai detik ini kita tidak pernah melihat jumlah pemeriksaan PCR per kabupaten/kota. Oleh karena itu, kredibilitas apa pun yang berkaitan dengan zonasi sepanjang indikator itu tidak dikeluarkan, maka menjadi tidak kredibel," tegasnya.
Iqbal juga mempertanyakan apakah pemerintah sudah mengalkulasi potensi infeksi Covid-19 terhadap anak-anak bila sekolah dibuka.
"Kita rindu kebijakan yang berbasis prinsip ilmiah dan data. Pertanyaan saya adalah apakah tim pakar pemerintah sudah pernah menghitung secara jujur dan terbuka berapa banyak anak-anak yang akan terinfeksi dan meninggal jika sekolah itu dibuka?" ujar Iqbal.
Iqbal mengutip penelitian terbaru di San Fransisco soal pembukaan sekolah. Penelitian itu menyatakan bahwa pembukaan sekolah tidak hanya mengancam jiwa anak-anak, tapi juga mengancam jiwa para guru.
"Pembukaan sekolah menengah atas meningkatkan infeksi pada guru-guru 41 persen. 37 persen pada anak-anak di usia sekolah menengah pertama (SMP). Apakah hal seperti itu pernah dihitung oleh tim pakar pemerintah?" sambungnya.
Menurut Iqbal, potensi ini tak pernah dinarasikan oleh pemerintah. Baik itu di panggungnya sendiri maupun dalam diskusi-diskusi publik.
"Pejabat pemerintah pasti tidak mau menanggung konsekuensi dari tuntutan hukum terhadap hilangnya korban jiwa anak-anak," pungkas Iqbal.
Advertisement
Pastikan Protokol Kesehatan Ditaati
Kepala Lembaga Biomolekuler Eijkman Institute Amin Soebandrio memilih jalan tengah perdebatan antara pakar dan pemerintah soal pembukaan sekolah. Ia menyampaikan, pembukaan sekolah untuk menggelar pembelajaran tatap muka bisa dilangsungkan jika pemerintah yakin sekolah-sekolah tersebut bisa menaati protokol kesehatan.
"Itu hanya bisa dilakukan kalau kita sudah yakin sekolah bisa melakukan upaya-upaya untuk mencegah penularan," kata Amin kepada Liputan6.com, Senin (10/8/2020).
Menurut Amin berkaca pada pembukaan sekolah di luar negeri, pihak sekolah sampai menyiapkan agar bangku anak didiknya mematuhi pedoman penjarakkan fisik. Bahkan, hingga diberikan penyekat.
"Muridnya juga pakai masker, kemudian ruangan kelasnya juga dipastikan aliran udaranya diatur dengan baik. Kemudian dibatasi jamnya juga untuk berada di dalam kelas itu tidak terlalu lama," jelas Amin.
Kata Amin, selama hal-hal itu belum bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah di Indonesia, maka sekolah tersebut mestinya tak diperkenankan untuk mengadakan pembelajaran tatap muka di dalam kelas.
"Sebenarnya Mendikbud itu kan memberikan kesempatan bagi sekolah-sekolah yang udah siap. Karena kita tahu tak semua murid itu bisa belajar di rumah, artinya tidak semua mempunya fasilitas," ungkap Amin.
Amin mengusulkan jika sekolah dibuka, maka proses pembelajarannya bisa digilir. Yakni dengan menerapkan mekanisme shifting jam masuk para siswa. Misalnya separuh berangkat pagi dan separuh lainnya siang.
"Atau dua hari sekali, nah itu yang harus diatur. Bukan berarti (kalau) buka, buka kaya sebelum pandemi. Nah, itu mesti dipahami oleh penyelenggara sekolah," tutur Amin.
Amin mengakui bahwa pekerjaan yang amat sulit untuk meyakinkan penyelenggara sekolah untuk mau mengelola sekolahnya sebagaimana tuntutan protokol kesehatan tersebut. Tugas pemerintah, menurut Amin, adalah memberikan pemahaman kepada mereka terkait kondisi ini.
"Kita mesti membuat mereka memahami sebetulnya kenapa itu harus kita lakukan. Bukan karena ada petugas pengawas saja kemudian mereka menyesuaikan, tetapi untuk seterusnya," pungkasnya.