Liputan6.com, Jakarta “Pertama, apakah benar Tilik hanya melanggengkan stereotip perempuan?” tanya Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Budi Irawanto, kala mengulas film Tilik. Tilik adalah film pendek yang melambungkan tokoh Bu Tejo belakangan ini.
Tilik oleh sebagian orang dituding stereotip dan misogini (kebencian terhadap perempuan -red). Budi Irawanto mengulas Tilik di laman Facebook. Ulasan Tilik ini kemudian menyebar salah satunya lewat situs jejaring sosial Twitter pada Senin (24/8/2020).
Baca Juga
Advertisement
“Dalam film ini perempuan tak hanya menjadi karakter yang dominan, tapi juga direpresentasikan secara beragam,” ia berpendapat. Budi Irawanto menilai Tilik tak mengesankan adanya penguatan stereotip tertentu.
Melebih-lebihkan dan Simplikasi
Ia mengutip definisi stereotip versi Richard Dyer (1977), yakni tipe sosial yang menarik garis batas tegas, jelas, baku, dan muskil diubah. Gambaran tentang seseorang buah dari proses mengumpulkan informasi dan memosisikannya di tatanan tipifikasi tertentu.
“Sebaliknya, stereotip melakukan pereduksian terhadap karakter seseorang dengan melebih-lebihkan dan simplikasi. Tilik memang melebih-lebihkan karakter Bu Tejo untuk memancing kelucuan, tapi tak lantas melakukan simplifikasi,” tulisnya.
Advertisement
Gotrek dan Pergunjingan
Sebagian warganet mengkritik penggambaran perempuan yang stereotip sebagai penggemar gosip dan penyebar hoaks. Di sepanjang film, penonton disuguhi adegan ibu-ibu bergunjing. Budi Irawanto punya pendapat berbeda.
“Tapi, lihatlah karakter sopir truk bernama Gotrek yang notabene laki-laki itu. Gotrek tampak mencuri dengar pergunjingan ibu-ibu itu dari tempat duduknya sembari menyetir truk,” urainya. Gotrek, dalam pandangan Budi Irawanto, mendengar (mungkin juga menikmati) gunjingan ibu-ibu di bak truk.
Tudingan Misogini
“Dalam adegan lain, Gotrek tampak ingin tahu percakapan antara Yu Ning dan Dian lewat telepon ketika truk berhenti di depan masjid. Jadi, rupanya lelaki juga menyukai pergunjingan,” Budi Irawanto menyimpulkan.
Menyoal tudingan misogini, ia menyampaikan sejumlah ulasan salah satunya tokoh Bu Lurah yang tak muncul dalam film, tapi dicintai warga. Setidaknya oleh ibu-ibu. Begitu mendengar kabar Bu Lurah dirawat di rumah sakit, ibu-ibu bergegas menjenguk.
Advertisement
Pilihan Dian
“Jelas ini bukan penggambaran perempuan yang stereotip dalam film Indonesia yang lazimnya memosisikan perempuan di pinggiran atau sekadar sebagai pemeran pembantu,” ia memaparkan. Selain itu, ada Dian yang bukan dari keluarga berada, ditinggalkan ayah, dan hanya lulus SMA.
“Meski begitu, ia berani meninggalkan desa dan bekerja di kota. Dian boleh jadi mewakili perempuan yang mandiri dan berani membuat keputusan yang tak lazim untuk ukuran warga desanya,” Budi Irawanto membeberkan. Lebih lanjut ia menilai, ini stigma yang melekat pada perempuan yang serius meniti karier. Dalam Tilik, alih-alih menjalin asmara dengan pria sebaya, Dian justru menempuh jalan lain.