Perempuan WNI di Australia Ini Dituduh Lakukan Penipuan

Warga Indonesia dan warga lokal melaporkan dugaan tindakan penipuan yang dilakukan oleh seorang perempuan Indonesia di New South Wales, Australia.

Oleh ABC Australia diperbarui 26 Agu 2020, 19:25 WIB
Ilustrasi penipuan (iStockphoto)

Perth - Aktivitas penipuan dengan membawa nama Virus Corona COVID-19 kini tengah merambah Australia

Lembaga pengawas Scamwatch di Australia mengeluarkan data terbaru soal kasus penipuan, termasuk pencurian informasi pribadi yang pada 2020 meningkat 55 persen dibandingkan 2019.

Dalam data tersebut terdapat 3.900 laporan penipuan menggunakan kata "coronavirus" dengan kerugian melebihi AU$3,1 juta sejak pandemi COVID-19.

Mengutip ABC Indonesia, Rabu (26/8/2020), data tahunan Scamwatch, yang juga bagian dari Komisi Kompetisi dan Konsumer Australia (ACCC), akhir Juni lalu juga menunjukkan penipuan telah menargetkan komunits migran di Australia.

Tindakan penipuan diduga telah terjadi di kalangan komunitas warga Indonesia di Australia, seperti yang disebutkan di salah satu kelompok Facebook komunitas warga negara Indonesia (WNI) di Perth.

"PENGUMUMAN. Buat semua yang pernah bermasalah dengan P*TR* TH*RNH*LL buat pengiriman uang or hal lain tolong lapor ke saya. Anda tidak sendiri," tulis seorang anggota di grup Facebook tersebut.

"Ada grupnya yang pernah ditipu oleh P*tr*."

Nama akun yang disebutkan dalam unggahan tersebut, yakni P*tr* Th*rnh*ll sudah tidak dapat ditemukan lagi akunnya di Facebook, namun sejumlah orang yang berbicara kepada ABC Indonesia mengatakan ia berdomisili di negara bagian New South Wales.

Kepada ABC Indonesia, penulis yang tidak ingin namanya disebutkan mengatakan alasan ia membuat unggahan itu karena ingin membantu temannya yang mengatakan uangnya sempat tidak dikembalikan oleh P*tr*.

Namun penulis mengatakan setelah unggahan ini muncul, uang tersebut akhirnya dikembalikan oleh pihak yang disebutkan.

Di kolom komentar, terlihat beberapa balasan dari anggota yang menyertakan 'screenshot' dugaan percakapan mereka dengan pemegang akun Facebook bernama P*tr* melalui Facebook Messenger, mulai dari tawaran berbisnis hingga jasa pengiriman uang dari Australia ke Indonesia tanpa biaya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Penipuan Jual Tas Mahal

Sandra Dewi (Sumber: Instagram/fashion.sandra.dewi)

Sementara itu, ABC Indonesia juga menemukan kelompok lain di Facebook yang mengaku sebagai korban dari P*tr* atau mewakili beberapa pihak yang dengan keluhan yang sama.

Salah satu anggota kelompok berisi 24 orang tersebut adalah Olivia Ginardi, seorang warga Australia di Sydney yang mengaku ditipu oleh P*tr* melalui akun Instagram "bisnis"-nya.

"Dia memiliki sebuah toko online di Instagram bernama 'Shop Addict' dengan 'username' addict_lux. Dan dia mengklaim menjual tas mewah di sana," kata Olivia kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Setelah melihat akun tersebut, Olivia mengaku jika harga tas yang ditawarkan "lumayan murah" dibandingkan produk tas pada umumnya dan ia sempat bertanya apakah barang tersebut asli dan ada bukti pembeliannya.

"Dia mengirimkan banyak foto dan saya pikir mereka semua asli. Akhirnya, saya mengirim uang tanggal 21 Juli. Dia mengatakan barangnya akan tiba dalam waktu 3-5 hari kerja."

Olivia mengatakan mengirimkan uang sebanyak AU$1,550 (Rp 16,4 juta) kepada rekening "bisnis" tersebut dan mengaku belum menerima barangnya sampai hari ini.

Olivia mengatakan ia pernah meminta 'tracking number' untuk melihat posisi barang yang ia beli, namun baru mendapat tanggapan satu minggu kemudian.

Setelah beberapa kali menanyakan kepada Australia Post, Olivia mengatakan baru menyadari bahwa nomor yang diberikan kepadanya adalah palsu.

"Ketika saya menanyakan kepadanya, dia menulis alasan yang panjang sekali, mengatakan bahwa karena COVID, ada keterlambatan pengiriman barang," kata Olivia dalam wawancara via telepon Jumat lalu 21 Agustus.

Setelah itu, akun yang menurut Olivia adalah milik P*tr* tersebut menghapusnya dari daftar pengikut dan tidak pernah menghubunginya lagi.

Menurut Olivia yang juga mendengar dari orang yang mengaku sebagai korban, P*tr* seringkali meminta pembeli untuk mengirimkan uang ke akun bank yang berbeda-beda.

Menurut informasi situs Scamwatch, kejadian yang dikatakan oleh Olivia masuk dalam kategori penipuan belanja online.

Hingga Juli 2020, Scamwatch telah mencatat 1.415 laporan dari kategori ini, dengan total kerugian sebesar AU$757,802 (Rp 8 miliar).

Menurut data yang ada, modus penipuan terbesar adalah melalui internet sebesar 30,7 persen, melibatkan korban perempuan, yaitu sebanyak 60,4 persen.

Penipuan belanja online termasuk salah satu yang paling banyak terjadi, di tengah meningkatnya jumlah penipuan di pandemi COVID-19.

 


Identitas Dipakai untuk Menipu

Buat yang suka belanja di online shop, hati-hati dengan modus penipuan baru yang meminta cashback. (Ilustrasi: Pexels.com)

Laporan dengan nama pelaku P*tr* juga datang dari Subaedah Davis, warga asal Indonesia di Newcastle, New South Wales, yang mengatakan identitasnya sempat digunakan untuk menipu orang lain.

Sebelumnya Subaedah mengatakan sempat meminjamkan uang kepada P*tr* yang pada waktu itu mengaku ingin membeli tas.

Akhirnya, Subaedah mengatakan mengirim uang ke rekening seseorang yang tidak ia kenal dengan asumsi penerima tersebut adalah penjual tas yang dimaksudkan P*tr*.

Kepada ABC, ia mengatakan uang tersebut akhirnya dikembalikan oleh P*tr*, namun, beberapa hari setelahnya, Subaedah menerima telepon dari seseorang yang awalnya berpura-pura ingin melamar pekerjaan di perusahaannya.

"Sudah ngomong-ngomong, terakhirnya dia bilang, 'how dare you steal money of people' [mengapa Anda berani mencuri uang orang lain]?"

Ia mengatakan penelpon tersebut kemudian merujuk kepada akun Instagram penjual tas yang juga disebutkan oleh Olivia.

Kebingungan Subaedah berlanjut ketika menerima telepon dari bank yang menurut pernyataannya menemukan aktivitas mencurigakan pada akunnya.

"Terus saya bilang, 'tidak, saya tidak beli apa-apa'. Terus nomor rekening dibacakan, dan saya bilang 'that is not my bank account' [itu bukan rekening saya]."

Akhirnya, bank tidak jadi menutup rekening Subaedah.

Tidak lama setelah itu, Subaedah mengatakan menerima telepon dari temannya yang memberitahukan bahwa namanya telah dipakai oleh P*tr* di sebuah kelompok penjualan tas di Facebook.

Subaedah mengatakan karena P*tr* beroperasi menggunakan nama "bisnis"nya, pembeli tidak mengetahui identitas aslinya.

"Mereka tidak tahu siapa identitas P*tr* sebenarnya. Ketika saya transfer uang kan otomatis di rekening mereka tertera nama saya," kata Subaedah.

"Di situ mereka langsung menuduh saya, dilaporkan ... saya stres jadinya. Saya SMS P*tr*, dan dia cuma iya-iya saja, tapi tidak melakukan apa-apa."

Akibat peristiwa yang menurutnya terjadi di bulan Juni lalu ini, Subaedah yang awalnya berteman dekat dengan P*tr* sejak 2018, mengatakan ia sempat tidak nafsu makan dan susah tidur selama tiga hari.

"Saya sempat stres, karena kan tidak tahu apa-apa, niat menolong, tapi kena dan dituduh orang. Saya merasa tidak aman, buat diri saya sendiri dan anak-anak saya."


Imbauan Melaporkan Tindakan Bagi Komunitas Indonesia

Buat yang suka belanja di online shop, hati-hati dengan modus penipuan baru yang meminta cashback. (Ilustrasi: Pexels.com)

Olivia dan Subaedah tergabung dalam kelompok Facebook yang dibentuk oleh Yulie de Groot, warga Indonesia di Newcastle, yang mengaku pernah menggunakan jasa pengiriman uang P*tr*.

Maret lalu, Yulie mengatakan sempat menitipkan uang pada P*tr*, yang pertama kali menawarkan jasa tersebut kepada Yulie lewat Facebook Messenger, untuk dikirimkan ke Indonesia.

Tiga hari setelah mengirim uang kepada rekening Australia P*tr*, ia mengatakan uang tersebut belum sampai kepada rekening penerima uang Yulie di Indonesia.

Yulie mengatakan karena ia terus bertanya dan mengancam untuk menyebarkan perbuatan P*tr* di media sosial, uang tersebut pun akhirnya dikembalikan padanya.

Berdasarkan pengalaman dan laporan yang ia terima tentang P*tr*, Yulie mengatakan akhirnya membentuk kelompok untuk membangun kesadaran bagi warga Indonesia maupun warga Australia.

"Semoga dengan dibuatnya grup ini, kita saling mengabarkan sesama [warga] Indonesia dan tidak jadi korbannya."

Tahun lalu, 4,6 persen laporan yang diterima oleh Scamwatch berasal dari warga Australia yang tidak memiliki Bahasa Inggris sebagai bahasa utama.

"Kami ingin mendorong semua warga komunitas manapun untuk melapor pada Scamwatch dan tidak merasa malu atau takut kalau sudah menjadi korban penipuan," kata Wakil Ketua ACCC, Delia Rickard."Kalau Anda sudah memberikan keterangan akun Anda pada seorang penipu, hubungi bank Anda segera dan bila khawatir tentang keselamatan Anda, hubungi polisi."

Sejalan dengan petunjuk dari Scamwatch, Olivia mengatakan telah melaporkan P*tr* kepada pihak kepolisian New South Wales secara online dan menelepon pihak bank.

"Kepada polisi, saya melaporkan secara online. Belum secara fisik. Ke bank, saya sudah menghubungi dan mereka sedang mengadakan semacam investigasi dan menuliskan dalam laporan mereka."

Menurut Olivia, banyak orang yang juga mengaku sebagai korban penipuan P*tr*, namun setelah uangnya dikembalikan, memilih untuk tidak melaporkan.

Tanggapan dari P*tr*

ABC Indonesia telah menghubungi P*tr* untuk meminta klarifikasi soal tuduhan yang ditujukan kepadanya.

Kepada Hellena Souisa, ia menuliskan tanggapannya melalui pesan tertulis yang diterima, Kamis lalu 20 Agustus.

"Saya ada lawyer dan kalau memang ada yang merasa tertipu tolong hubungi polisi saja. Karena sebagian besar yang saya tahu orang-orang hanya social climbing," jawab P*tr*. "Saya ada beberapa nama saya kasih ke lawyer saya perihal pencemaran nama baik. Thanks."

ABC Indonesia sudah meminta nomor telepon pengacara bersangkutan namun belum menerima jawaban hingga artikel ini diterbitkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya