Liputan6.com, Jakarta - Kasus red notice Djoko Tjandra menyeret dua nama jenderal di Mabes Polri, Jakarta Selatan. Adalah Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte disebut-sebut telah menerima suap dari terdakwa kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali tersebut.
"Kami pastikan memang mereka menerima aliran dana itu," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2020, seperti dilansir Antara.
Advertisement
Hal itu terungkap saat penyidik Bareskrim memeriksa ketiganya selama hampir 12 jam. Awi tidak bisa menyebutkan jumlah uang yang diberikan Djoko Tjandra kepada ketiga tersangka untuk mengurus penghapusan red notice.
"Nominalnya tentu sudah masuk ke materi penyidikan, saya tidak bisa sampaikan. Nanti akan dibuka semuanya di pengadilan," kata dia.
Menurut dia, saat diperiksa Senin 24 Agustus, Djoko juga mengaku telah menyerahkan sejumlah uang untuk ketiga tersangka. Awi menambahkan terkait uang yang diterima para tersangka ini akan dikonfrontasi dengan alat bukti lainnya.
"Kalau itu berupa transfer atau cash and carry, tentunya nanti semuanya akan didalami oleh penyidik dan itu akan dibuka semuanya di pengadilan. Kami sudah lakukan pemeriksaan dan mereka telah mengakui menerima uang tersebut," kata Awi.
Dalam kasus ini, Bareskrim Polri telah menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra. Status yang sama juga disandangkan kepada Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi diduga berperan sebagai pemberi suap, sedangkan Brigjen Prasetijo dan Irjen Napoleon menjadi penerima suap.
Namun pernyataan dari Mabes Polri dibantah oleh Napoleon. Dalam gelar rekonstruksi di gedung TNCC Bareskrim, tersangka kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte dihadirkan. Ia datang dengan menggunakan seragam Polri dan didampingi kuasa hukum. Napoleon mengaku sempat emosi saat rekonstruksi.
"Yang pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada penyidik Bareskrim khususnya tipikor Bareskim yang sudah hari ini melakukan gelar perkara, melaksanakan rekonstruksi, ya. Dengan lancar meskipun ada sedikit emosi tadi, ya. Agak meluap sedikit tetapi semua bisa terkendali dengan baik," kata Napoleon melalui Kuasa hukumnya, Putri Maya Rumanti di Bareskrim, Kamis 27 Agustus 2020.
Kedua, kata dia, sesuai rekonstruksi yang dilaksanakan berdasarkan CCTV di lantai satu gedung TNCC lobi utama, diklaimnya tak berkaitan dengan Napoleon.
"Itu yang harus saya tegaskan di sini. Kemudian beberapa keterangan hari ini dalam rekonstruksi telah terbantahkan karena Jenderal Napoleon tidak pernah ada tepat waktu di saat kejadian itu," kata Putri.
Putri melanjutkan, Napoleon saat itu sedang ada kegiatan di luar. "Tidak sesuai dengan jadwal. Ada jadwal kegiatan lain," timpal Napoleon.
Irjen Napoleon Bonaparte juga membantah menerima suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi atau Brigjen Prasetijo Utomo.
"Perlu saya sampaikan yang pertama, setelah bergulirnya perkara dugaan suap atas penghapusan red notice. Saya mewakili Napoleon, Jenderal Napoleon hari ini bicara. Jenderal Napoleon Bonaparte secara tegas menolak bahwa Jenderal Napoleon Bonaparte tidak pernah menerima uang atau barang sebagaimana yang selama ini diberitakan, baik itu dari Tommy Sumardi, baik itu dari Brigjen Prasetijo Utomo maupun dari Djoko S Tjandra, apalagi dari pihak lainnya," kata Gunawan Raka yang juga kuasa hukum Napoleon.
Gunawan juga mengklaim NCB Interpol Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte tidak pernah mencabut red notice atas nama Djoko S Tjandra. Karena faktanya, kata dia, red notice tersebut telah terhapus dari IPSG Interpol Sekretariat Jenderal yang terletak di Lyon, Prancis Lyon sejak tanggal 11 Juli 2014.
"Karena tidak ada permintaan perpanjangan dari pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh instansi yang berwenang, sehingga secara otomatis red notice atas nama Djoko S Tjandra terhapus sejak tahun tersebut," kata dia.
Yang sebetulnya terjadi, lanjutnya, adalah hilangnya nama djoko S Tjandra dalam DPO imigrasi. Sebagaimana teregistrasi dalam sikim adalah di luar kewenangan, di luar kekuasaan Napoleon atau lembaga NCB Republik Indonesia.
"Sehingga keluar masuknya Djoko Tjandra baik ke Malaysia maupun ke mana-mana melalui perbatasan, itu tidak melalui data imigrasi. Yang ada adalah hapusnya nama Djoko S Tjandra dari daftar sikim DPO imigrasi tidak ada kaitannya dengan Jenderal Napoleon Bonaparte," katanya.
Napoleon pun mendukung langkah Polri untuk mengusut semua 'nyanyian' tersangka lain yakni Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, Anita Kolopaking dan Jaksa Pinangki.
"Semua langkah-langkah hukum akan ditentukan kemudian sambil kita secara kooperatif mendukung penelusuran yang sedang dilakukan oleh Bareskrim. Penelusuran atas nyanyian Djoko S Tjandra, nyanyian Tommy Sumardi dan lain-lain," kata Gunawan Raka di Bareskrim, Kamis (27/8/2020).
Dia melanjutkan dalam kasus tersebut, seolah-olah mengeluarkan begitu banyak uang untuk pengurusan penghapusan red notice. Padahal, klaim dia, sebetulnya sudah terdelete oleh sistem karena tidak diajukan perpanjangannya.
"Dan semuanya telah terhapus pada tahun 2014 tanggal 11 juli 2014," katanya.
Irjen Napoleon Bonaparte sendiri membantah mengenal tersangka kasus dugaan suap penghapusan red notice, Tommy Sumardi. Tommy ditetapkan tersangka karena diduga menjadi perantara suap Djoko Tjandra kepada Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo.
"Enggak. Sebelumnya tidak," kata Napoleon.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Kejar Pengakuan
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte membantah telah menerima suap atau gratifikasi terkait dugaan penghapusan status red notice Djoko Tjandra. Polri tak mau ambil pusing atas pernyataan tersebut.
"Penyidik tidak mengejar pengakuan, penyidik bekerja sesuai dengan scientific crime investigation. Jadi kita tidak mencari atau mengejar pengakuan," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (28/8/2020).
Menurut Awi, salah satu upaya mengungkap kebenaran kasus tersebut adalah lewat rekonstruksi yang sebelumnya dilakukan dengan melibatkan Irjen Napoleon. Sementara untuk penahanan, menjadi hak prerogatif penyidik.
"Ya penyidik tentunya tetap berpedoman kepada KUHAP di sana sudah diatur bahwasannya memang untuk menahan atau tidak seseorang itu ada syarat subjektif dan objektifnya. Tentunya penyidik menimbang itu, karena memang pengungkapan kasus korupsi itu tidak mudah ya" jelas dia.
Awi menampik tidak ditahannya Irjen Napoleon lantaran pangkatnya yang berbintang dua alias Inspektur Jenderal.
"Oh tidak ada, kita tidak ada itu. Murni semua proses penyidikan, semua hak prerogatif. Saya tambahkan, yang sebelumnya kan kasus lain, yang dua tersangka lain itu ditahan karena kasus surat jalan palsu," Awi menandaskan.
Advertisement