Jusin Clasic Merasa Sembahyang Kubur di Tengah Pandemi Berbeda

Seniman asal Singkawang, Jusin Clasic, merasakan perbedaan pada kegiatan sembahyang kubur tahun ini di keluarganya.

oleh Hernowo Anggie diperbarui 29 Agu 2020, 06:00 WIB
Seniman sekaligus pesulap Singkawang Jusin Clasic. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Jusin Clasic membahas soal warga Tionghoa khususnya di Indonesia, yang kembali mengadakan sembahyang kubur atau Ka Ci (dalam bahasa Hakka) untuk mengunjungi sekaligus membersihkan makam leluhur.

Ada yang berbeda pada kegiatan sembahyang kubur tahun ini di keluarga pemuda lulusan Beijing Language Culture University itu. Sekarang, “Ka Ci” hanya dihadiri oleh ayah dan paman Jusin Clasic.

“Tahun ini lebih sedikit yang hadir (sembahyang kubur) karena paman dari Jakarta dan luar negeri tidak bisa pulang karena pandemi,” tutur Jusin Clasic kepada wartawan, belum lama ini.


Teringat Mendiang Kakek

Jusin Tiono alias Jusin Clasic. (Ist)

Juri Hakka Ako Amoi Singkawang 2020 ini mengatakan bahwa pelaksanaan kegiatan sembahyang kubur bulan 7 pada tahun ini mengingatkannya dengan mendiang kakek yang telah meninggal 5 tahun silam.

Begitu banyak petuah dari sang kakek semasa hidup yang begitu membekas dan terpatri di dalam hatinya. Bahkan petuahnya itu kini menjadi pegangan Jusin dalam menjalani hidup.

 


Sempat Merasa Beruntung

Jusin Tiono alias Jusin Clasic. (Ist)

Pemuda yang sempat mengukir prestasi dengan permainan sulap dan seni merubah wajah ini, sempat merasa sangat beruntung. Pasalnya, ia terlahir di keluarga yang mampu mendidiknya untuk menjadi seorang yang mampu menghargai leluhur dan menjalankan tradisi Ka Ci dalam keluarga.

Ia bersyukur karena meski hidup dalam keluarga yang bersahaja, namun apapun yang dibutuhkan bisa dipenuhi oleh kedua orangtuanya.

 


Tetap Bermakna

Meski demikian, momen sembahyang kubur kepada mendiang kakek tercinta tetap dilakukan secara khidmat dan bermakna.Budi jasa dan kebesaran orang tua dan leluhur tak terbalaskan sepanjang hidup.

Namun, harapan seorang Jusin sekaligus menjadi tugas dan amanah yang harus diemban adalah bagaimana bisa membalas budi jasa orangtua sebaik-baiknya.

Pada usia yang perlahan menuju kematangan dalam berkeluarga, ia pun berharap dapat membina sebuah keluarga yang utuh. Sehinga, akan ada generasi baru dalam keluarganya yang meneruskan untuk menanamkan nilai-nilai luhur seperti ajaran orang tua dan mendiang kakeknya.

Jusin menyadari bahwa masih banyak generasi muda seusianya yang juga mempunyai tugas serupa. Kalau bukan mereka, maka siapa lagi yang akan melestarikan budaya dan tradisi ini.

 


Kewajiban

Seperti diketahui, kewajiban berkunjung dan sembahyang ke kuburan leluhur hanya sebatas 3 tingkat leluhur. Dimulai dari orang tua, kakek nenek, dan buyut.

“Jadikanlah ini sebagai kewajiban dan panggilan bakti kepada mereka yang telah tiada. Karena keberhasilan menjadi manusia adalah ketika ia mampu mengenang kembali dan membalas budi kebesaran leluhur dengan menjadi sebaik-baiknya manusia,” ujar seniman yang cukup kenal dekat dengan Didik Nini Thowok itu.

 


Sembahyang Kubur

Di Singkawang, sembahyang kubur juga menjadi momen tersendiri karena di samping tujuan di atas, juga merupakan sebuah kesempatan berkumpulnya anggota keluarga dan sanak keluarga.

Sembahyang kubur dilakukan sebanyak 2 kali dalam setahun yakni pada kisaran bulan ketiga penanggalan kalender Tionghoa yang lebih dikenal dengan sebutan Qing Ming (Chiang Miang dalam Bahasa Hakka) dan pada bulan ketujuh dimulai dari tanggal 1 hingga 15 kalender Tionghoa yang lebih dikenal dengan sebutan Chit Nyiat Pan (Bahasa Hakka).

Sebagai generasi muda, kegiatan sembahyang kubur seyogyanya tidak menjadi beban kita meski sibuk dengan seagenda rutinitas dan kesibukan.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya