Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merilis surat edaran terkait kata anjay. Surat edaran ini memicu berbagai komentar pro dan kontra dari warganet.
Ketua Umum Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menjelaskan, imbauan larangan menggunakan kata anjay harus dipandang dari dua perspektif tempat dan makna. Pihaknya melarang penggunaan kata anjay yang bisa bermakna hujatan dan berujung perundungan atau bullying.
Advertisement
"Kalau mengandung unsur merendahkan martabat mencederai orang dan menimbulkan kebencian, itu bentuk kekerasan yang dilarang. Karena melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, itu adalah bentuk kekerasan verbal dan bisa dipidana," kata Arist saat dihubungi Liputan6.com. (Baca: Penjelasan Komnas PA soal Larangan Penggunaan Kata Anjay)
Sedangkan, perspektif kedua yakni kata anjay diperbolehkan bila digunakan untuk mengekspresikan pujian atau rasa kagum terkait sesuatu.
"Harus dilihat dalam dua perspektif, apakah dia berkonotasi kata anjing misalnya, tetapi kalau istilah anjay satu pujian rasa kagum, tidak unsur fisik binatang yang digantikan kata anjay, kalau itu ekspresi itu boleh saja," ucapnya.
Menanggapi hal ini, pakar Pendidikan Anak dari Lembaga Terapan Psikologi UI, Muhammad Rizal, Psi, mengungkapkan bahwa kata anjay adalah plesetan dari kata anjing. Walau demikian, kata tersebut lebih banyak digunakan untuk menyatakan kekaguman akan suatu hal.
“Dampaknya secara psikologis sih seharusnya engak ada ya karena lebih ke arah positif. Walaupun asal usul katanya negatif tapi karena perubahan terminologi barangkali menjadi suatu hal yang menunjukkan kekaguman,” ujar Rizal kepada Liputan6.com, Senin (31/8/2020).
Simak Video Berikut Ini:
Perlu Tahu Latar Belakang Komnas PA
Menurut Rizal, kata anjay bisa menjadi negatif jika intonasi yang dipakai dengan nada menghina.
“Barangkali Komnas PA melihatnya akan selalu ada sisi negatif dari apa yang disampaikan tergantung konteks cara penyampaiannya. Tapi karena saya cari literaturnya, lebih banyak ke arah kekaguman sih daripada memakinya. Mungkin itu ada kekhawatiran berlebihan dari Komnas PA.”
“Saya engak tahu latar belakang berpikir Komnas PA jadi saya tidak bisa memberikan penilaian apapun. Apa yang kemudian mereka maknai dan dalam konteks apa itu yang saya gak paham sehingga kemudian sampai kata anjay saja menjadi sebuah hal yang perlu dibicarakan sebegitu dalamnya."
Ia menambahkan, anjay ini merupakan salah satu gaya bahasa dari sekian gaya bahasa yang tercipta di masyarakat sejak dulu. Ini menjadi tanda di suatu generasi yang menciptakan bahasa tertentu.
“Kita harus hati-hati juga, Komnas PA memaknainya sebagai apa karena satu kata bisa menjadi dua makna seperti itu tergantung pada persepsi penerimanya dan pada intensi si penyampai pesannya. Dengan Komnas PA mengeluarkan seperti ini, mungkin malah bisa menjadi bahaya. Jangan-jangan kalau semua orang kemudian menganggap sebagai penghinaan ya bisa menjadi pasal baru.”
Hal yang tak kalah penting adalah harus melihat alasan Komnas PA memikirkan kata anjay ini sementara banyak kata-kata lain yang juga muncul, tambahnya.
“Saya juga enggak tahu apakah aduan dari masyarakat bahwa mereka terhina gara-gara kata anjay. Saya sendiri secara pribadi kalau dibilang kata tersebut itu ketawa-ketawa aja karena enggak merasa itu sebuah makian.”
Rizal menambahkan, daripada menilai Komnas PA benar atau salah ia cenderung lebih ingin mencari tahu terkait latar belakang instansi mengeluarkan surat edaran tersebut.
“Jangan-jangan memang ada keluhan, jangan-jangan anak sekarang menggunakan kata itu menjadi berbeda dengan tujuan awal dari kata itu. Saya yakin Komnas PA tidak akan gegabah mengeluarkan surat sampai seperti ini, pasti ada latar belakang tertentu. Nah ini yang perlu kita sikapi terlebih dahulu dengan hati-hati,” pungkasnya.
Advertisement