Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester I/2020. Terkait hal ini, Direktur Keuangan, Emma Sri Martini mengungkapkan Pertamina tengah mengalami triple shock. Diantaranya terkait Volume penjualan BBM/BBK, Nilai tukar rupiah, dan harga Indonesian Crude Price (ICP).
“Yang sangat signifikan menghantam kita punya Profit and Loss (PNL) dan juga kemudian cashflow kita adalah terkait dengan penurunan sales. Ini yang barangkali tidak terjadi pada masa-masa krisis terdahulu. Dimana sekarang pandemi covid ini signifikan sekali penurunan demand. Ini menyebabkan revenue kita sangat terdampak,” ujar Emma dalam rapat dengar pendapat Pertamina bersama komisi VII, Senin (31/8/2020).
Advertisement
“Jadi berapapun crude price itu sangat renda, dan juga karena demandnya tidak ada, (maka) tidak berdampak pada revenue kita. Ini yang menyebabkan PNL kita sangat berdampak khususnya di kuartal kedua,” sambung dia.
Kemudian dari sisi nilai tukar rupiah, Emma menyebutkan telah terjadi pelemahan dengan titik terendahnya yang terjadi pada Maret 2020.
Keadaan ini, kata Emma, memberikan tekanan finansial karena pendapatan Pertamina sebagian besar dalam Rupiah (IDR), sementara pembelian crude dalam Dolar AS (USD).
“ICP tertekan hingga ke level yang terendah pada April 2020, USD 21/Bbl. HAl ini berdampak pada kinerja keuangan perusahaan yang mempertahankan produksi dan lifting migas meskipun margin hulu tergerus,” papar dia.
Emma menambahkan, dengan ICP yang sangat turun tajam jadi margin hulu Pertamina juga tergerus. Di sisi lain, Emma juga menyebutkan bahwa semua NOC (National Oil Corporation) dan IOC (international Oil Corporation) turut terimbas negatif oleh Covid-19.
“Kalau dilihat dari komparasinya dengan NOC dan IOC lain memang semuanya terdampak, tidak ada NOC atau IOC lain yang tidak terdampak covid-19,” kata Emma.
Dirut Pertamina: Premium dan Pertalite Harusnya Tak Boleh Dijual
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan premium dan pertalite sebagai gasoline yang memiliki nilai di bawah research octane number (RON) 91 seharusnya tidak boleh lagi dijual di Indonesia. Hal tersebut demi upaya mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (BBM) untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2017 yang mensyaratkan gasoline yang dijual minimum harus memiliki nilai research octane number (RON) 91. Untuk diketahui Premium merupakan RON 88 dan Pertalite dengan RON 90.
"Artinya ada dua produk yang kemudian tidak boleh lagi dijual di pasar kalau mengikuti aturan tersebut yaitu premium dan pertalite," ujar Nicke saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan DPR, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Nicke mengatakan, meski sudah ada aturan melarang, kedua jenis BBM tersebut hingga kini memiliki porsi yang konsumsi yang paling besar. Pada 22 Agustus 2020 tercatat, penjualan premium mencapai 24 ribu kiloliter (KL) dan pertalite sebesar 515 ribu KL.
Kemudian, untuk penjualan BBM dengan RON di atas 91 yakni pertamax dengan RON 92 sebesar 10.000 KL, dan pertamax Turbo dengan RON 98 sebesar 700 KL.
"Namun demikian kita akan mencoba melakukan pengelolaan hal ini karena premium dan pertalite ini porsi konsumsi paling besar. Karena itu kita segera mendorong bagaimana konsumen mampu untuk beralih ke BBM lebih ramah lingkungan," tandasnya.
Advertisement