Kekerasan Seksual Adalah Dosa, Tokoh Agama di Sulut Dukung RUU PKS

Hal ini terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Swara Parampuang (Swapar) Sulut di Manado, Senin (31/8/2020).

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 01 Sep 2020, 23:00 WIB
Sejumlah tokoh agama dan pimpinan ormas keagamaan di Sulut menyatakan dukungan untuk pengesahan RUU PKS.

Liputan6.com, Manado - Sejumlah tokoh agama di Sulut menyatakan dukungan mereka untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Salah satu pertimbangannya adalah RUU PKS mengisi kekosongan hukum dalam melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual.   

Hal ini terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Swara Parampuang (Swapar) Sulut di Manado, Senin (31/08/2020).

Vivi George yang mewakili Direktur Swapar Sulut menuturkan, tujuan dilakukannya rangkaian diskusi itu untuk mendapatkan pemahaman terkait urgensi RUU PKS dari sudut pandang akademisi dan ormas keagamaan.

"Untuk mendapatkan masukan, memperkaya substansi dan menggalang dukungan nyata dari akademisi dan ormas keagamaan untuk segera disahkannya rancangan UU PKS," ujar Vivi.

Dia berharap bisa menghasilkan pemikiran yang sama terhadap informasi yang benar dari tujuan RUU ini, karena faktanya banyak informasi yang berkembang liar menimbulkan kebingungan di masyarakat.

"Perjuangan untuk mengesahkan rancangan undang-undang ini masih panjang, seperti yang kita ketahui bersama dimana DPR RI justru mengeluarkan RUU ini dari daftar Prolegnas 2020 dengan alasan sulit dibahas," bebernya.

Menurutnya, ini tentu saja sangat melukai perasaan para korban kekerasan seksual dan juga para pendamping yang selama ini melakukan pendampingan terhadap mereka.

"Swara Parangpuan juga terus menggalang dukungan kepada anggota DPR RI Dapil Sulut serta terus membangun komunikasi dengan mereka meskipun hingga saat ini belum ada respon positif," ungkap Vivi.

 

Simak juga video pilihan berikut:


Kekerasan Seksual Adalah Dosa Berat

Teolog dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon Pdt Ruth Ketsia Wangkai sebagai pembicara pertama.

Diskusi yang dipandu budayawan Denni Pinontoan itu menghadirkan Teolog dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon Pdt Ruth Ketsia Wangkai sebagai pembicara pertama. Ruth memaparkan, berbicara masalah kekerasan seksual itu bukan isu dari barat atau aliran feminis barat. Melainkan persoalan yang berangkat dari kehidupan sehari-hari di Indonesia.  

"Pelecehan seksual, pemerkosaan, pencabulan yang dilakukan bahkan oleh sesama anggota keluarga yang terjadi di sekitar kita," papar Ruth.

Dalam RUU PKS itu diatur ada 9 jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan, eksploitasi, pemaksaaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksanan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pebudakan seks, penyiksaan seks. Jenis-jenis kekerasan seksual ini tidak semuanya diatur dalam KUHP atau undang-undang lainnya.

"Kehadiran RUU PKS ini mengisi kekosongan hukum yang ada, selain itu juga mengatur bagaimana penanganan dan pemulihan korban," ujar Ruth.

Ruth mengatakan, kekerasan seksual dalam perspektif teologi Kristen merupakan pelanggaran terhadap ciptaan Allah. Karena manusia diciptakan sesuai citra Allah.

"Karena itu kehadiran RUU PKS ini melindungi manusia, khususnya para perempuan dari perbuatan tersebut," ujarnya.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Sulut Kiay Ahmad Rajafi yang tampil sebagai pembicara kedua memaparkan dari perspektif Islam tentang kekerasan seksual. Rajafi mengutip pernyataan seorang ulama asal Mesir Syauqi Ibrahim Allam bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, baik kekerasan fisik maupun verbal.

"Dan merupakan tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan syariat. Melakukan kekerasan terhadap perempuan atau keluarga itu dilarang," papar Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Agam Islam (IAIN) Manado ini.

Selanjutnya, akademisi dari IAIN Manado Musdalifa memberikan pandangannya dari segi psikologi. Menurutnya, kekerasan seksual itu membuat perasaan tidak nyaman, dan traumatis meski pun itu terjadi dalam sebuah lembaga perkawinan.

"RUU PKS ini perlu diangkat ke permukaan untuk dibahas, bukan hal yang tabu. Karena ini melindungi manusia, terutama kaum perempuan," papar Musdalifa.

Diketahui pembahasan RUU PKS sudah dimulai sejak tahun 2012 yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengadalayanan.

Periode 2014-2019 lalu sudah masuk pembahasan Komisi VIII, namun belum juga disahkan. Periode ini didaftarkan kembali sebagai RUU dalam Prolegnas 2019 – 2024, kemudian dikeluarkan dari daftar prioritas tahun 2020.

"Untuk itu kami mendorong agar RUU PKS ini bisa masuk prioritas prolegnas tahun 2021," papar Nur Hasanah, salah satu aktivis feminis di Sulut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya