Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai revisi aturan terkait Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai lebih urgent untuk dilakukan saat ini. Dibandingkan revisi UU Bank Indonesia (BI) melalui Perppu yang tengah dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
"Menurut saya yang perlu difokuskan saat ini adalah sektor riil. Karena sektor keuangan sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Kalaupun ada peraturan yang perlu diperbaiki, salah satunya LPS," ujar dia dalam webinar yang digagas oleh Bisniscom, Selasa (1/9/20).
Advertisement
Alviliani mengatakan dalam aturan LPS saat ini disebutkan, bahwa lembaga tersebut baru dapat terlibat melakukan penanganan apabila bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya negara membutuhkan dana tinggi untuk biaya penanganannya.
Sehingga, di berpendapat aturan LPS ini sebaiknya direvisi dengan mencantumkan ketentuan bahwa ketika ada indikasi bank bermasalah, lembaga pengawas ini dapat segera bertindak. Mekanismenya aset yang dinilai masih bagus bisa diserahkan kepada investor sedangkan aset yang buruk diurus oleh LPS.
"Seharusnya keterlibatan LPS bukan hanya pada bank gagal. Kita bisa lihat kemarin ketika ada bank bermasalah, akhirnya LPS di dalam aturannya tidak bisa membantu. Akhirnya OJK yang sibuk mencari bagaimana cara menyelesaikannya," jelas dia.
Kendati demikian, Alviliani meminta revisi aturan LPS tidak dalam bentuk Perppu. Mengingat jumlah Perppu di Indonesia sudah terlampau banyak yang justru dapat direspon negatif oleh pelaku pasar.
"Terlalu banyak Perppu akan memberikan sinyal terkait ketidakstabilan di dalam suatu negara. Seperti yang dialami oleh negara lain seperti Turki yang membuat kekhawatiran di pasar," paparnya.
"Jadi Perrpu tidak menjafi solusi saat ini. Apalagi sektor keuangan kita oke-oke saja," imbuh dia.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Ada Usulan Dewan Moneter dalam RUU BI, Ketuanya Menteri Keuangan
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggelar rapat pada Senin ini untuk membahas Revisi Undang-Undang Bank Indonesia.
Dalam rapat hari ini dikemukakan adanya fungsi baru yaitu Dewan Moneter yang bertugas untuk membantu pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.
Dikutip dari bahan Rapat Badan Legislasi Senin (31/8/2020), Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian.
Dewan Moneter terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan dan bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak.
Anggota Badan Legislasi Achmad Baidowi menjelaskan, dalam rapat hari ini bukan membahas draf tetapi baru membahas poin gagasan tim ahli yang dipresentasikan.
"Rapatnya terbuka. Gagasan tersebut belum menjadi pendapat Baleg," jelas dia, Senin (31/8/2020).
"Media banyak mengutip presentasi yang disampaikan tim ahli dalam rapat terbuka. Tapi itu bukan sikap baleg, hanya pengantar diskusi," tambah dia.
Menanggapi adanya Dewan Moneter tersebut, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, OJK belum bisa memberikan tanggapan.
Anto menjelaskan, adanya Dewan Moneter merupakan usulan tenaga ahli dari rapat Baleg. Mereka pun diminta melengkapi dengan Naskah Akademis dan Baleg akan membentuk Panitia Kerja (Panja) yang melibatkan ahli yang kompeten untuk bisa menjawab tantangan bank sentral ke depan.
"Demikian pula halnya dengan isu pengawasan bank, karena OJK dibentuk oleh DPR yg mengedepankan pengawasan terintegrasi sehingga dapat memitigasi transaksi dan produk hybrid yang menjadi tantangan ke depan," kata dia.
OJK juga meminta pengawas untuk tetap fokus dalam tugasnya mengatasi dampak covid-19 terhadap sektor keuangan yang saat ini masih terjaga baik karena koordinasi yang kuat antara OJK, BI dan LPS.
Sementara otoritas fiskal sekarang juga sedang bekerja keras mengelola utang yang membesar dan meningkatkan penerimaan pajak.
Tidak lain kolaborasi dan sinergi ini untuk mencapai pertumbuhan yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomuan di akhir tahun bisa mencapai kisaran 0 persen sampai 0,25 persen.
Advertisement