Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango memastikan pihaknya berwenang mengambil alih penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Diketahui kasus Jaksa Pinangki diusut Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Supervisi atau pengambil-alihan penanganan perkara adalah kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada KPK," ujar Nawawi saat dikonfirmasi, Selasa (1/9/2020).
Advertisement
Nawawi menyatakan, dalam mengambil alih penanganan kasus, KPK tidak bergantung pada ada atau tidaknya keiinginan dari instansi-instansi untuk menyerahkan sebuah kasus.
"Sepenuhnya tergantung pada KPK kapan akan memulai supervisi atau kapan memutuskan untuk mengambil alih penanganannya," kata Nawawi.
Nawawi membeberkan wewenang KPK dalam pengambil-alihan sebuah kasus. Menurut Nawawi, hal tersebut tertera dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Supervisi itu tugas pokok KPK (Pasal 6 huruf d) begitu juga pengambil-alihan perkara (Pasal 10A). Jadi sepenuhnya kewenangan KPK kapan akan mensupervisi atau bahkan mungkin mengambil-alih, tidak brrgantung pada instansi-instansi tersebut," kata Nawawi.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Aturan Supervisi dan pengambilalihan Perkara
Dalam UU KPK disebutkan, dalam Pasal 6 huruf d, 'Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi'.
Dalam Pasal 10A disebutkan:
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(2) Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungiawabkan;
c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan, kepolisian dan/atau kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani
berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum yang menangani
Tindak Pidana Korupsi.
Advertisement