Liputan6.com, Tana Toraja - Tim penyidik bidang pidana khusus (Pidsus), Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, hingga saat ini terus mendalami penyidikan kasus dugaan eksploitasi di kawasan Hutan Produktif Terbatas (HPT) Mapongka, Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
"Tim masih dalami terus penyidikan," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil kepada Liputan6.com, Selasa (1/9/2020).
Baca Juga
Advertisement
Ia mengatakan terakhir dalam proses penyidikan kasus peralihan Hutan Mapongka itu, tim sudah menyita 40 lahan yang sudah bersertifikat, terhitung sejak tahun 2005 hingga 2016 dan semuanya terletak dalam kawasan hutan produksi terbatas Mapongka, Kabupaten Tana Toraja.
"Lokasi-lokasi tersebut sudah dipasangi papan bicara yang menerangkan sita dan dasar sitanya," jelas Idil.
Tindakan penyitaan, kata dia, dilakukan dengan kehadiran pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Penegakan Hukum (Gakkum), Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel serta beberapa orang pemilik sertifikat.
"Tim kurang lebih seminggu di Tana Toraja dalam rangka melaksanakan kegiatan penyitaan dan pemeriksaan saksi," terang Idil.
Tak hanya itu, tim penyidik, lanjut dia, juga memperoleh fakta dan data baru. Dimana ditemukan masih banyak sertifikat tanah yang diterbitkan dalam kawasan hutan produktif terbatas Mapongka yang dimaksud diluar dari sertifikat yang sebelumnya sudah diketahui dan lahannya telah disita.
"Data dan fakta baru ini sementara didalami kebenarannya untuk kemudian ditindaklanjuti," ujar Idil.
Simak juga video pilihan berikut:
Tantangan Lembaga Anti Korupsi Sulsel
Sebelumnya, Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan (LAKSUS) menantang Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) untuk menyeret oknum pejabat serta mantan pejabat di Kabupaten Tana Toraja yang terbukti mengklaim serta melakukan dugaan eksploitasi di Kawasan Hutan Produktif Terbatas (HPT) Mapongka, Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.
Direkur LAKSUS, Muh Ansar, mengatakan pihaknya mengawal ketat penanganan perkara Hutan Mapongka tersebut. Dimana, dari hasil investigasi lembaganya, ditemukan ada indikasi oknum pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja yang diduga mengekspolitasi lahan di Kawasan Hutan Produktif Terbatas Mapongka.
Oknum pejabat itu, kata dia, terindikasi memiliki tiga titik lahan di Mapongka, satu diantaranya telah berdiri bangunan berupa Villa dan dua lainnya diduga telah dieksploitasi dengan melakukan penimbunan serta pemerataan tanah. Eksploitasi lahan itu diduga dilakukan pada awal tahun 2018.
"Dari hasil penelusuran pada tahun 2017, lokasi itu sebelumya semak-semak, namun sekarang semak-semak sudah habis dieksploitasi," ucap Anshar di Makassar, Senin 27 Juli 2020.
Lebih lanjut ia mengatakan tiga lahan yang dimaksud diduga tidak memiliki sertifikat.
"Apa pun dalilnya, mereka dinilai telah melakukan eksploitasi di dalam kawasan hutan milik negara tanpa izin. Oknum pejabat ini harus diseret ke hadapan hukum," tegas Anshar.
Ia menguraikan, pembangunan Villa oleh oknum pejabat yang dimaksud, telah merusak dan mengalihfungsikan kawasan hutan produktif terbatas.
Tak hanya itu, yang juga harus menjadi atensi aparat penegak hukum, lanjut Anshar, apakah pembangunan Villa yang dimaksud telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkab Toraja serta izin dari Kementrian Lingkungan Hidup. Selanjutnya, mobilisasi serta operasional alat berat ke lokasi Villa di Mapongka juga menjadi tanda tanya.
"Kejati harus mengusut apakah alat berat yang digunakan masuk Mapongka adalah milik pemerintah daerah atau swasta. Kalau milik pemerintah maka bisa menjadi masalah karena menggunakan fasilitas negara mengeksploitasi hutan negara. Kami menduga ada unsur penyalahgunaan wewenang," jelas Anshar.
Hutan Mapongka, kata dia, sama sekali tidak bisa dieksploitasi. Wilayah ini sebagai penyangga air untuk Bandara Toraja. Jika hutan rusak, maka bencana longsor dan banjir akan menghantam Bandara dan tentunya kita akan kehilangan aset Bandara yang nilainya ratusan miliar.
"Negara harus hadir mengatasi masalah ini. Perambah hutan harus dihentikan. Apalagi kalau yang melakukan adalah pejabat, maka mereka harus dihukum berat," jelas Ansar.
Gakkum KLH Wilayah Sulawesi, kata Anshar, seharusnya turun bersama Kejati melakukan penyelidikan. Gakkum KLH khusus menyeret mereka yang melakukan perambahan hutan dan Kejati berperan mengusut penyalahgunaan wewenang pejabat yang menerbitkan sertifikat di kawasan hutan yang dimaksud.
Terkait kasus Hutan Mapongka itu, Kejati Sulsel telah resmi meningkatkan penanganannya ke tahap penyidikan. Dimana penyidik terkesan fokus pada kasus pensertifikatan lahan hutan produktif terbatas Mapongka yang ada di Kabupaten Tanah Toraja tersebut.
"Kasus ini sudah naik penyidikan," kata Kepala Kejati Sulsel, Firdaus Dewilmar.
Ia mengatakan pihaknya telah menemukan adanya bukti-bukti terjadinya tindak pidana dalam kasus Hutan Mapongka tersebut. Meski demikian, pihaknya tak ingin terburu-buru dalam menetapkan tersangka. Tim penyidik masih terus mendalami kasus tersebut guna menemukan oknum yang patut bertanggung jawab dalam kasus itu.
"Belum ada tersangka, tapi kita harap tim dapat bekerja cepat untuk menemukan tersangka dalam kasus ini," tutur Firdaus.
Advertisement
Wabup Toraja Diperiksa
Sebelumnya, Penyidik bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah memeriksa sejumlah pihak dalam kasus Hutan Mapongka tersebut. Diantaranya Wakil Bupati (Wabup) Tana Toraja, Victor Datuan Batara.
"Iya baru saja saya diambil keterangannya," Akui Wabup Tana Toraja, Victor saat ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Senin 6 Juli 2020.
Kata dia, dirinya dipanggil dalam kapasitas sebagai pemerintah setempat untuk menjelaskan duduk perkara mengenai status lahan Mapongka tersebut. Ia membenarkan bila di hutan produksi terbatas itu marak dijumpai masyarakat yang sering keluar masuk.
"Di sisi lain agak susah karena sudah ada sebagian masyarakat yang telah memiliki sertifikat di dalam kawasan Hutan Mapongka tersebut," kata Victor.
Ia pun menceritakan jauh sebelum Hutan Mapongka ditetapkan sebagai kawasan hutan produktif terbatas oleh Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, lahan di area itu lebih awal dikuasai secara turun-temurun oleh hak ulaiat adat.
"Makanya berdasarkan hak ulaiat adat ini, beberapa orang yang merasa bagian dari dua daerah ini mengurus sertifikat dan keluar sertifikat itu," jelas Victor.
Ia melanjutkan bahwa pada tahun 2016, Pemerintah Daerah (Pemda Tana Toraja) telah mengajukan permohonan pembebasan lahan di Hutan Mapongka. Namun oleh Kementrian kehutanan hanya menyetujui sebanyak 103 Ha.
"Karena disitu sudah ada pemukiman, lahan perkebunan, termasuk akses jalan masuk Bandara dan sejumlah fasilitas-fasilitas umum yang kita bangun diantaranya Makodim, Brimob, BMKG dan lainnya. 103 Ha inilah yang kita plot mana untuk fasilitas umum dan mana untuk area pemukiman yang sudah padat itu," jelas Victor
Forum Mahasiswa Tana Toraja (Format) pun sempat berunjuk rasa di Kantor Kejati Sulsel mendesak agar kasus Hutan Mapongka itu dituntaskan.
Sebab berdasarkan investigasi yang mereka lakukan, proses penerbitan sertifikat di kawasan Hutan Mapongka dimulai sejak tahun 2011. Sementara status hutannya masih dalam status hutan produktif terbatas yang telah ditetapkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yakni sejak Tahun 1993.
"Setidaknya ada 70 persil sertifikat yang diduga dikeluarkan BPN di sekitar areal Hutan Mapongka dan 36 persil sertifikat dipastikan masuk dalam kawasan hutan yang dalam hal ini telah melanggar hukum," kata kordinator Format, Andirias Eka.
Terpisah, Akademisi Fakultas Hukum, Ruslan Renggong juga mengatakan langkah Kejaksaan sudah tepat dengan melakukan telaah berkaitan dengan status lahan yang disertifikatkan itu.
"Apakah status tanah tersebut milik negara atau bukan, kalau memang itu milik negara tidak boleh disertifikatkan pribadi, melanggar hukum itu. Jangan sampai kemudian sewaktu-waktu negara membutuhkan tanah tersebut untuk digunakan ternyata sudah ada sertifikat, kan negara harus membayar lagi padahal tanah tersebut merupakan tanah negara," kata Ruslan.
Ia mengatakan status hutan produktif terbatas bisa dialihkan, namun harus mendapat izin dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan prosesnya cukup rumit.
"Kalau pun itu dipenuhi, harus dicocokan dulu, apakah sudah sesuai dengan yang diizinkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan yang terjadi di lapangan?. Karena banyak kasus juga itu kadang tidak sesuai, jadi saya rasa sudah tepat bila Kejaksaan mendahului dengan menelusuri status lahan tersebut," Ruslan menandaskan.