Liputan6.com, Jakarta- Informasi hoax bisa menyesatkan siapa saja, bahkan orang yang cerdas. Sebab itu, setiap informasi yang beredar baik di dunia maya dan nyata harus ditelaah dengan baik.
Dikutip dari Liputan6.com, Tim riset Stanford History Education Group dari Stanford University melakukan riset terhadap berita-berita hoax.
Advertisement
Tim yang dikepalai psikolog Sam Wineburg itu fokus menemukan jawaban dari dua pertanyaan berikut:
Mengapa orang yang paling cerdas sekalipun begitu buruk membuat penilaian mengenai apa yang harus dipercaya di sebuah situs internet?
Bagaimana cara agar kita menjadi lebih baik dalam memilah berita hoax?.
Temuan tim peneliti yang dikepalai Wineburg menunjukkan, semua kalangan masyarakat di Amerika, mulai dari remaja yang sangat melek digital hingga kaum akademisi dengan IQ tinggi kerap mengabaikan pertanyaan kritis seputar situs yang mereka akses di internet.
Sementara itu, studi lain menunjukkan, orang sering me-retweet tautan tanpa lebih dulu membaca isinya dan terlalu bergantung pada mesin pencari. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Pew pada 2016 menemukan, hampir seperempat penduduk Amerika telah membagikan berita atau artikel palsu.
Ilmuwan bidang kognitif dari MIT David Rand dalam studinya menemukan, rata-rata orang cenderung memercayai berita palsu setidaknya 20 persen sepanjang waktu.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia.
Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu.
Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Advertisement