Liputan6.com, Islandia - Hasil penelitian The New England Journal of Medicine (NEJM) menemukan bahwa dari 1.797 orang yang sembuh dari COVID-19, 1.107 dari 1.215 yang dites, atau 91,1 persennya memiliki peningkatan titer antibodi antivirus selama dua bulan setelah didiagnosis dengan qPCR dan tetap stabil selama sisa penelitian.
“Hasil menunjukkan bahwa antibodi antivirus terhadap SARS-CoV-2 tidak menurun dalam empat bulan setelah diagnosis. Kami memperkirakan bahwa risiko kematian akibat infeksi adalah 0,3 persen dan bahwa 44 persen orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 di Islandia tidak didiagnosis oleh qPCR,” kata peneliti mengutip Nejm.org (2/9/2020).
Advertisement
Bagi orang yang dikarantina, 2,3 persennya seropositif dengan paparan yang tidak diketahui sedang 0,3 persennya positif. Peneliti memperkirakan bahwa 0,9 persen orang Islandia terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan infeksi itu berakibat fatal pada 0,3 persen orang.
“Kami juga memperkirakan bahwa 56 persen dari semua infeksi SARS-CoV-2 di Islandia telah didiagnosis dengan qPCR, 14 persen terjadi pada orang yang dikarantina yang belum pernah diuji dengan qPCR (atau yang belum menerima hasil positif, jika diuji), dan 30 persen terjadi pada orang di luar karantina dan tidak diuji dengan qPCR.”
Simak Video Berikut Ini:
Kematian Akibat COVID-19 di Islandia
Di Islandia 10 kematian telah dikaitkan dengan COVID-19 yang setara dengan 3 kematian per 100.000 secara nasional. Di antara kasus qPCR-positif, 0,6 persennya berakibat fatal.
Dengan menggunakan prevalensi 0,9 persen dari infeksi SARS-CoV-2 di Islandia sebagai penyebut, peneliti menghitung risiko kematian akibat infeksi sebesar 0,3 persen. Berdasarkan usia, risiko kematian akibat infeksi secara substansial lebih rendah pada mereka yang berusia di bawah 70 dibandingkan pada mereka yang berusia di atas 70.
Tingkat antibodi SARS-CoV-2 lebih tinggi pada orang tua dan pada mereka yang dirawat di rumah sakit Tingkat Pan-Ig anti-S1-RBD dan IgA anti-S1 lebih rendah pada wanita.
“Dari kondisi yang sudah ada sebelumnya, dan setelah penyesuaian untuk beberapa pengujian, kami menemukan bahwa indeks massa tubuh, status merokok, dan penggunaan obat antiinflamasi dikaitkan dengan tingkat antibodi SARS-CoV-2,” tulis peneliti mengutip Nejm.org (2/9/2020).
Indeks massa tubuh berkorelasi positif dengan tingkat antibody, perokok dan pengguna obat antiradang memiliki tingkat antibodi yang lebih rendah. Berkenaan dengan karakteristik klinis, kadar antibodi paling kuat terkait dengan rawat inap dan keparahan klinis, diikuti oleh gejala klinis seperti demam, pembacaan suhu maksimum, batuk, dan kehilangan nafsu makan.
Advertisement