RUU Minerba Tak Kunjung Selesai, DPR Minta Pemerintah Tak Sibuk Pencitraan

Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan RUU Minerba.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 02 Sep 2020, 14:30 WIB
Aktivitas pekerja menggunakan alat berat saat menurunkan muatan batu bara di Pelabuhan KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman meminta kepada pemerintah untuk bekerja dengan sunguh-sungguh dan meninggalkan upaya pencitraan. Hal tersebut diungkap Maman Abdurrahman setelah melihat belum selesainya Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu bara (RUU Minerba) sampai saat ini. 

“Filosofi saya berpikir, selalu memikirkan apa yang substansi dan apa yang penting, dan apa yang baik buat bangsa negara ini di atas segala-galanya. Daripada hanya sekedar pencitraan,” cetus Maman dalam rapat kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM, Rabu (2/9/2020).

Untuk itu, Maman mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan RUU Minerba. Menurunya, UU Minerba nantinya dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan baik hulu maupun hilir yang ada di sektor Minerba. Maman kemudian menyinggung soal relinquish terhadap Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

“Saya dengar ada semangat dari pemerintah untuk melakukan relinquish dari pemilik PKP2B. Saya pikir itu betul semangatnya ada, tapi harus diperhatikan faktor ekonomi. Jadi jangan sampai kita hanya sekedar ingin memberikan pencitraan di mata publik bahwasanya kita ingin melakukan relinquish tapi kita tidak memperhatikan nilai-nilai keekonomian dari lapangan tersebut,” kata Maman.

“prinsipnya tidak ada masalah kita setuju bahwa memang itu perlu relinquish dan sebagainya, Tapi tolong faktor-faktor keekonomian antara pemerintah dan pengusaha juga itu dilihat dan dihitung betul,” sambung dia.

Sebagai contoh lain, Maman menyebutkan soal untung-rugi dibangunnya smelter. Menurutnya, jika pembangunan smelter memang memberikan imbal balik yang lebih besar, maka silakan pemerintah melanjutkan. Sebaliknya, jika dengan pembangunan ini justru negara mengalami kerugian, maka sebaiknya tidak dilanjutkan.

“Untuk melakukan smelterisasi adalah untung ruginya bagi pemerintah dan negara kita. Kalau memang setelah kita hitung memberikan implikasi positif terhadap keuntungan pengusaha atau pemerintah, lanjut bangun smelter. Tapi kalau memang ternyata tidak untung, untuk apa kita paksakan demi hanya untuk mengakomodasi citra publik,” kata Maman. 

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:


Substansi

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Maman menekankan, bahwa ia tidak mendukung pula menolak pembangunan smelter. Namun jika dalam hitungannya ini justru menimbulkan kerugian, maka sebaiknya tidak dilanjutkan berdasarkan nilai keekonomian.

“Kalau memang pemerintah menganggap (pembangunan smelter) itu (menguntungkan, maka menjalankan. Tapi kalau memang ternyata dilihat dari kebijakan tersebut lebih banyak menggerus ataupun mengurangi pendapatan negara, kita harus berani sampaikan kepada publik,” jelas Maman.

“Artinya, saya tidak ingin kebijakan pemerintah lebih besar karena faktor pencitraan daripada faktor esensi ataupun substansi dari setiap proses pengambilan kebijakan,” sambung Maman menegaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya