HEADLINE: KPK Ingin Ambil Alih Kasus Jaksa Pinangki, Optimistis Proses Hukum Objektif?

Sejumlah pihak mendorong Kejagung menyerahkan penanganan perkara Jaksa Pinangki ke KPK agar lebih independen dan objektif.

oleh Nafiysul QodarNanda Perdana PutraFachrur RozieIka Defianti diperbarui 03 Sep 2020, 05:17 WIB
Banner Infografis KPK Ambil Alih Kasus Jaksa Pinangki? (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Penanganan perkara dugaan korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pusaran skandal kasus Djoko Tjandra menyita perhatian publik. Sejumlah pihak mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan penanganan perkara tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Independensi menjadi salah satu alasan agar penanganan kasus Jaksa Pinangki diambil alih KPK. Sebab bagaimana pun, Pinangki merupakan bagian dari keluarga besar Korps Adhyaksa.

Namun terwujudnya harapan agar perkara korupsi Jaksa Pinangka diserahkan ke KPK sepertinya kecil. Apalagi Kejagung beberapa kali mengisyaratkan bahwa penanganan kasus tersebut tidak akan diserahkan ke KPK.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, KPK seharusnya bisa mengambil alih penanganan perkara dugaan korupsi Pinangki tanpa harus mendapat persetujuan Jaksa Agung. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang menangani kasus yang melibatkan penegak hukum.

"Ada beberapa alasan mengapa KPK harus segera mengambil alih penanganan perkara dugaan korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pertama, proses penindakan di Kejaksaan Agung berjalan lambat," ujar Kurnia kepada Liputan6.com, Rabu (2/9/2020).

Alasan kedua, Jaksa Pinangki merupakan aparat penegak hukum. Menurut Kurnia, alasan tersebut sangat relevan dengan Pasal 11 UU KPK.

Begitu juga suap kepada Jaksa Pinangki dari Djoko Tjandra dimaksudkan untuk mengurusi fatwa di Mahkamah Agung (MA). "Bagian ini juga relevan jika dikaitkan dengan historis pembentukan KPK yang dimandatkan untuk membenahi sektor peradilan dari praktik koruptif," kata Kurnia.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango setuju bahwa penanganan perkara Jaksa Pinangki sebaiknya dilakukan lembaga antirasuah. Menurutnya, undang-undang memberikan kewenangan KPK menangani perkara korupsi yang melibatkan penegak hukum.

"Sejak awal mencuatnya perkara-perkara yang melibatkan aparat penegak hukum ini, saya selalu dalam sikap, sebaiknya perkara-perkara dimaksud ditangani oleh KPK," kata Nawawi kepada Liputan6.com pada Kamis 27 Agustus 2020 lalu.

Kendati begitu, Nawawi tidak berbicara mengenai konsep 'pengambilalihan' perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 10A UU KPK.

"Tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi-institusi tersebut yang mau 'menyerahkan' sendiri penanganan perkaranya kepada KPK. Dan yang seperti itu sangat baik dalam semangat sinergitas dan koordinasi, dan yang pasti akan lebih menumbuhkan kepercayaan publik pada objektifnya penanganan perkara," katanya.

Infografis KPK Ambil Alih Kasus Jaksa Pinangki? (Liputan6.com/Triyasni)

Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, lembaga antirasuah memahami tingginya animo masyarakat yang ingin perkara Jaksa Pinangki ditangani lembaga antirasuah. 

"Namun semua harus sesuai mekanisme aturan main yaitu undang-undang. KPK akan ambil alih jika ada salah satu syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 10A terpenuhi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/9/2020).

Pengambilalihan penanganan korupsi dari kepolisian atau kejaksaan diatur dalam Pasal 10A UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK. Adapun syarat-syarat perkara bisa diambil alih KPK diatur dalam Pasal 10A ayat 2, yang berbunyi:

"(2) Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan."

Untuk itu, KPK mendorong kejagung transparan dan objektif dalam penanganan perkara Jaksa Pinangki. "Kembangkan jika ada fakta-fakta keterlibatan pihak lain, karena bagaimanapun publik akan memberikan penilaian hasil kerjanya," ucap Ali.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengklaim, pihaknya telah menggandeng KPK dalam penanganan perkara Jaksa Pinangki. Kerja sama tersebut dilakukan dalam bentuk koordinasi dan supervisi.

Menurut Hari, kerja sama itu telah dibuktikan lewat pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada KPK. "Ketua KPK sudah bilang kok kalau ada SPDP. Itulah koordinasi awal kami," ujar Hari kepada Liputan6.com, Rabu (2/9/2020).

Kejagung tak mau ambil pusing dengan pihak-pihak yang mendorong agar penanganan kasus Jaksa Pinangki diserahkan ke KPK. Menurut Hari, Kejagung juga memiliki kewenangan mengusut dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggotanya.

"Masing-masing punya kewenangan. Mestinya di-support dong. Kenapa harus diserahkan, kan penyerahan itu ada syaratnya. Undang-undang sudah mengatur, kembali ke undang-undang saja. Ini kan kecurigaan-kecurigaan saja. Makanya masyarakat silakan kawal apakah kasusnya nanti tidak tuntas dan sebagainya," katanya.

Kejagung berjanji akan menangani perkara dugaan korupsi yang melibatkan Jaksa Pinangki secara transparan. Hari menegaskan, penanganan perkara terus berjalan dan tak menutup kemungkinan akan ada tersangka-tersangka baru.

"Nanti kita tunggu hasil perkembangan penyidikan. Dukung kami untuk membuktikan ini. Bahwa kami transparan," ucapnya.

Setelah Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra, Kejagung hari ini kembali menetapkan satu tersangka dalam kasus dugaan suap. Dia adalah pengusaha sekaligus politikus Partai Nasdem bernama Andi Irfan Jaya alias (AI).

"Kami koordinasi untuk menempatkan tersangka AI ini dilakukan penahanan di Rutan KPK, terhitung mulai hari ini," tutur Hari.

Hari menyebut, Andi Irfan merupakan rekan dari jaksa Pinangki. Untuk perannya sendiri, kini penyidik masih mendalami dan memastikan lewat temuan alat bukti dan kesaksian.

"Dugaannya kan (suap) diterima oknum jaksa P, tetapi apakah diterima langsung ataukah melalui orang ketiga, makanya penyidik hari ini menetapkan satu orang lagi. perannya seperti apa? Sementara ini dugaannya adalah melalui ini (Andi Irfan) lah uang itu sampai ke oknum jaksa sehingga diduga ada permufakatan jahat," jelas dia.

Penahanan Andi Irfan di Rutan KPK, lanjut Hari, merupakan bagian dari koordinasi Kejagung dan lembaga antirasuah tersebut. Sebagaimana perannya menjalankan fungsi pengawasan dari penyidikan itu sendiri.

"Begitu ditetapkan sebagai tersangka kemudian ada SPDP, itu kami sudah menembuskan surat itu, termasuk hari ini. Itulah awal dari koordinasi dan hari ini juga kami tempatkan tahanan itu di Rutan KPK. Itulah salah satu wujud koordinasi kami," kata Hari menandaskan.

Polemik penanganan perkara Jaksa Pinangki membuat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md turun tangan. Dia mengumpulkan petinggi Kejagung, KPK, Polri, dan Kemenkumham di Kantor Kemenko Polhukam, Rabu (2/9/2020).

Pertemuan itu membahas Peraturan Presiden terkait pelaksanaan supervisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, KPK berwenang mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani Kejagung dan Polri dalam rangka supervisi jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Perpres ini pun akan segera disampaikan oleh Presiden untuk diundangkan.

“Jadi tadi ada kesepakatan atau kesamaan pandangan, tentang implementasi supervisi yang menyangkut pengambilalihan perkara pidana yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan oleh Polri. Perkara pidana khusus korupsi yang bisa diambil alih oleh KPK,” ujar Mahfud Md.

Mahfud menambahkan, syarat-syarat tersebut sudah ada dalam Pasal 10A UU KPK. “Itu sudah ada di undang-undang dan disepakati menjadi bagian dari supervisi yang bisa diambil alih oleh KPK dari Kejaksaan Agung maupun dari Polri,” tuturnya.

Terkait dengan kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki, Mahfud menjelaskan bahwa KPK bisa memberikan pandangan dan juga diundang hadir untuk sebuah ekspose perkara yang sedang ditangani.

“Kabareskrim Polri sudah memberi contoh langkah yang dilakukan dalam bentuk pelibatan di dalam gelar perkara di Polri. Nah di Kejaksaan Agung juga sudah diberitahu bahwa dia terbuka dalam rangka supervisi, KPK bisa diundang untuk hadir ikut menilai di dalam sebuah ekspose perkara yang sedang ditangani. Nah di situ nanti KPK bisa menyatakan pandangannya. Apakah ini sudah oke proporsional atau harus diambil alih, kan nanti KPK sendiri bisa ikut di situ,” ujar Mahfud.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


KPK Terhambat MoU?

Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, bahwa polemik penanganan perkara Jaksa Pinangki menjadi bukti kelemahan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK yang cenderung mengedepankan pendekatan koordinasi. 

"Sehingga KPK hanya bisa mengharapkan kasus Pinangki diserahkan kepada KPK secara sukarela. Padahal UU KPK yang lama sebagai supervisor KPK bisa mengambil alih penanganan korupsi baik di kejaksaan maupun di kepolisian, jika ada kelambanan, conflict of interest, bahkan jika ada korupsi di dalam penanganannya," kata Abdul kepada Liputan6.com, Rabu (2/9/2020).

Memang pengambilailhan suatu perkara juga diatur dalam UU KPK yang baru. "Tetapi spirit UU ini mengatur pola relasi antar-penegak hukum (kasus) korupsi adalah koordinasi, meskipun KPK punya kewenangan supervisi," tuturnya.

Lebih lanjut, Abdul menilai, sikap Kejagung yang tetap bersikukuh menangani perkara korupsi Jaksa Pinangki justru akan berdampak pada kredibilitas Korps Adhyaksa itu sendiri.

"Dengan kejaksaan tidak mau menyerahkan kepada KPK, maka jelas kejaksaan telah mempermalukan dirinya bahwa memang pada Korps Kejaksaan ada hal-hal yang tidak beres yang tidak boleh diketahui dan diluruskan oleh pihak lain," katanya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menilai, polemik penanganan Jaksa Pinangki tak terlepas dari sejarah dan perkembangan KPK. Dia mengatakan, KPK sebelumnya merupakan lembaga superbody yang hanya mengambil alih atau menangani perkara limpahan dari kepolisian dan kejaksaan.

Namun setelah KPK menerima laporan perkara dan melakukan penyelidikan hingga penyidikan sendiri, maka lembaga tersebut tak lagi superbody. Kondisi ini pula yang menjadi cikal bakal amandemen UU KPK hingga lahirnya Dewan Pengawas (Dewas) KPK

"Karena KPK juga objek pengawasan oleh aparat penegak hukum yang lain polisi dan jaksa. Ketika dia sudah tidak superbodi lagi, KPK itu ya sebagai objek pengawasan," kata Mudzakir kepada Liputan6.com, Rabu (2/9/2020). 

Seiring kewenangan KPK yang hampir sama dengan kepolisian dan kejaksaan, maka lahirlah nota kesepahaman (MoU) antar-tiga lembaga penegak hukum tersebut. MoU mengatur sinergitas penegakan hukum hingga penanganan kasus korupsi yang melibatkan personel ketiga lembaga tersebut.

Artinya, ketika korupsi ditangani kejaksaan, maka kepolisian dan KPK tidak boleh ikut campur. Begitu juga sebaliknya. Ini yang sekarang menimbulkan polemik. Karena berdasarkan MoU, penyalahgunaan wewenang yang melibatkan polisi atau jaksa, maka akan ditangani oleh lembaganya masing-masing.

"Jadi KPK enggak bisa mengambil alih dengan kemauan sendiri, kecuali kalau penyidik polisi atau jaksa menyerahkan perkara itu kepada KPK. Jadi sekarang KPK mengalami blunder, ini peninggalan daripada pemimpin-pemimpin KPK sebelumnya. Jadi sekarang kalau KPK menangani perkara Pinangki ya enggak bisa karena berdasarkan MoU dia harus menunggu pelimpahan dari jaksa. Kalau jaksa enggak melimpahkan ya dia enggak bisa ambil alih," terang Mudzakir.

Memang kedudukan undang-undang lebih tinggi daripada MoU. Namun secara teknis, kata Mudzakir, MoU lebih kuat. Karena jika salah satu pihak melanggar MoU, maka akan diikuti oleh pihak lainnya, sehingga tidak menutup kemungkinan kasus 'cicak vs buaya' kembali terulang.

"Makanya saat itu saya usul kembalikan KPK ke habitatnya supaya kalau ada perkara kaya begini, kan orang tidak percaya mana mungkin jeruk makan jeruk, penyidik polisi bisa menyidik polisi juga, mungkin enggak objektif, demikan juga jaksa. Ini yang jadi masalah berikutnya adalah kalau terjadi ketidakpercayaan begitu, KPK tidak bisa ambil alih. Ini blunder. Sebaiknya KPK di masa depan itu back to basic, kembali kepada prinsip dasar," kata Mudzakir.


Jaksa Pinangki di Pusaran Djoko Tjandra

ilustrasi djoko tjandra (Liputan6.com/Abdillah)

Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi salah satu penegak hukum yang berada di pusaran kasus Djoko Tjandra. Namanya menjadi sorotan seiring dengan penangkapan Djoko Tjandra yang telah menjadi buronan Kejaksaan Agung (Kejagung) sejak 2009.

Jaksa Pinangki disebut beberapa kali bertemu dengan Djoko Tjandra selama pelariannya. Pengkhianatan Pinangki kepada Korps Adhyaksa pun diganjar dengan pencopotan jabatannya di Kejagung.

Tak berselang lama, Pinangki ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi menerima suap pada Selasa 11 Agustus 2020. Saat itu juga, Pinangki ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.

Namun Kejagung tak serta merta menetapkan tersangka pemberi suap dalam kasus ini. Penanganan perkara bahkan sempat menimbulkan polemik.

Sejumlah pegiat korupsi menilai Kejagung tidak serius menangani perkara Pinangki, terlebih setelah terbitnya Pedoman No 7 Tahun 2020, pemberian pendampingan hukum, hingga terbakarnya Gedung Utama Kejagung. Meski Kejagung memastikan, kebakaran yang terjadi pada Sabtu 22 Agustus 2020 malam itu tidak akan mengganggu penanganan perkara Pinangki.

Kejagung pun membuktikan pernyataannya dengan menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka pemberi suap pada Kamis 27 Agustus 2020.

Progres penanganan perkara Jaksa Pinangki terus ditunjukkan Kejagung di tengah desakan sejumlah pihak yang meminta agar kasus tersebut diserahkan ke KPK. Kejagung menelusuri aset hasil korupsi Pinangki dan kembali menjeratnya dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Penyidik Jampidsus Kejagung pun menggeledah empat lokasi untuk mengusut TPPU Jaksa Pinangki, antara lain dua unit apartemen di Jakarta Selatan, satu lokasi di kawasan Sentul, dan satu dealer mobil. Hasilnya, Kejagung menyita mobil mewah BMW tipe SUV X5 milik Jaksa Pinangki.

"Kenapa dilakukan penggeledahan? Ini terkait sangkaan TPPU terhadap jaksa Pinangki. Dan telah diperoleh satu buah mobil BMW ya," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah, Selasa 1 September 2020.

Yang paling terbaru, Kejagung menetapkan seorang pengusaha sekaligus politikus Partai Nasdem bernama Andi Irfan Jaya. Teman Jaksa Pinangki ini juga langsung ditahan di Rutan KPK.

Namun penyidik belum membeberkan peran Andi Irfan dalam skandal kasus Djoko Tjandra. Namun dia diduga sebagai perantara dari Djoko Tjandra ke Jaksa Pinangki.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya