Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto mengingatkan pemerintah untuk lebih waspada dengan peningkatan tren transaksi belanja lewat e-commerce di tengah pandemi Covid-19. Sebab e-commerce di Indonesia dinilai lebih banyak diisi oleh produk impor asal luar negeri.
"Pemerintah kita harus hati-hati akan maraknya belanja di e-commerce. Malah akan adanya peningkatan impor. Karena produknya dikuasai oleh impor," kata dia dalam webinar bertajuk Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Rabu (2/9/2020).
Advertisement
Agus mengatakan, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka berpotensi mengancam kelangsungan pelaku usaha dalam negeri. Karena kegagalan daya saing produk lokal untuk menembus pasar domestik.
"Karena kan pasar kita akan kebanjiran produk impor. Takutnya produk kita tidak mampu berdaya saing," imbuh dia.
Untuk itu, Agus meminta pemerintah lebih lebih sigap dalam menghadapi persoalan serius ini. Diantaranya dengan penyediaan pelatihan kepada para pelaku usaha, khususnya UMKM agar mampu menghasilkan produk berkualitas internasional.
Selain itu, pemerintah juga didorong untuk mampu berkoordinasi dengan seluruh e-commerce berskala besar agar memberikan akses kemudahan bagi pelaku usaha dalam negeri untuk memasarkan produk unggulannya. "Adanya kemudahan akses ini, penting juga untuk penyerapan produk lokal kita," tegasnya.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Berkembang Pesat
Sebelumnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat perkembangan e-commerce di Indonesia sangat pesat beberapa tahun terakhir ini. Namun sayangnya, e-commerce di Indonesia diserbu produk impor dan penjual asing lantaran saat ini karakteristik ecommerce masih tanpa batas.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Nika Pranata menyebutkan, tren impor barang melalui e-commerce perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Data dari Dirjen Bea Cukai menunjukkan bahwa sepanjang 2018, secara rata-rata jumlah barang kiriman impor melalui e-commerce meningkat 10,5 persen per bulan, sedangkan dari sisi nilai transaksi melonjak 22 persen dari tahun sebelumnya.
Selain itu, tren tersebut terjadi akibat dari mudahnya konsumen Indonesia untuk membeli barang dari luar negeri. Bahkan, beberapa platform e-commerce besar di Indonesia menyediakan fasilitas kepada penjual asing untuk membuka toko online di Indonesia.
"90 persen itu produknya ya impor. Yang dijual yang 90 persen itu bukan lewat e-commerce nya tapi produk yang dijualnya, tapi impor lewat jalur biasa," kata dia, di kantornya, Jumat (13/12).
Terkait hal ini, LIPI melalui Pusat Penelitian Ekonomi LIPI telah melakukan survei kepada 1.626 pembeli dan penjual online di seluruh Indonesia. Dua alasan utama konsumen berbelanja langsung dari luar negeri adalah karena produknya langka di pasar Indonesia dan harga barangnya yang relatif lebih murah.
"Jika permasalahan ini tidak ditindaklanjuti dengan cermat, maka hal tersebut mengancam keberlangsungan usaha produsen dan penjual online di Indonesia," ujarnya
Nika menambahkan berdasarkan beberapa temuan penelitian dan pembelajaran dari kasus China, tim peneliti merumuskan beberapa rekomendasi kebijakan dalam rangka melindungi penjual online Indonesia.
"Dirjen Bea Cukai perlu untuk mengenakan PPN sebesar 10 persen kepada semua barang impor berapapun nilai transaksinya. Hal ini untuk menciptakan kesetaraan perpajakan antara penjual dalam negeri dan penjual asing," ujarnya.
Jika itu tidak dilakukan, maka untuk barang dengan harga di bawah USD 75, pelaku usaha dalam negeri akan kalah bersaing. Pada harga tersebut, penjual asing tidak dikenakan biaya apapun, sedangkan transaksi di Indonesia dikenakan PPN sebesar 10 persen.
Dia menyebutkan, saat ini serbuan produk impor di e-commerce terus bertambah, mencapai 4 persen dari total impor secara keseluruhan. "Sekarang baru sekitar 4 persen dari total yang umum, tapi itu meningkatnya pesat jadi per bulannya rata-rata 10 persen. Karena 3-4 tahun yang lalu baru 1 persen hanya bisa dibayangkan jadi 4 persen," ujarnya.
Advertisement