Liputan6.com, Jakarta - Firenze adalah kota kelahiran Renaisans, periode peralihan dari Abad Pertengahan menuju era modern. Hampir setiap monumen, museum, dan ruang publik di kota tersebut menceritakan pergerakan yang mengubah wajah budaya Eropa dari masa kegelapan.
Namun, kota sama juga menghadirkan peristiwa tragis yakni kematian sebuah negara sepak bola. Lokasi pembunuhan adalah Stadio Artemio Franchi yang ketika itu masih bernama Comunale. Waktu menunjukkan 30 Juni 1990 dan berlangsung laga perempat final Piala Dunia antara Argentina dan Yugoslavia.
Advertisement
Orkestra lokal memainkan lagu kebangsaan Hej Sloveni yang terbukti kemudian menjadi requiem bagi Yugoslavia.
Pertandingan berlangsung sengit dan berlanjut hingga adu penalti. Bintang kedua tim, Diego Maradona dan Dragan Stojkovic, sama-sama gagal menunaikan tugas.
Tiba waktunya bagi Dragoljub Brnovic menjadi algojo. Namun, tendangannya mudah diantisipasi kiper Argentina Sergio Goycochea.
Kegagalan tersebut memperbesar beban Faruk Hadzibegic sebagai penendang terakhir. Namun dia juga tidak mampu memasukkan bola ke gawang.
"Bertahun-tahun setelahnya, banyak orang berkata mungkin Yugoslavia akan tetap ada jika saya mencetak gol dan kami maju ke semifinal," kata Hadzibegic.
Saksikan Video Yugoslavia Berikut Ini
Upaya Menyatukan dari Osim
Yugoslavia saat itu diterpa perang saudara. Sepak bola semula ingin digunakan sebagai alat pemersatu meski tidak cukup.
Sebelum mengikuti Piala Dunia 1990, Yugoslavia menghadapi Belanda pada uji coba di Stadion Maksimir, Zagreb. Alih-alih dukungan, penonton etnis Kroasia justru mengejek tim. Kroasia kemudian memerdekakan diri Juni 1991.
Tanpa pemain Kroasia, pelatih timnas Ivica Osim masih mampu membawa Yugoslavia lolos Piala Eropa 1992. Dia berupaya menyatukan negara kelahirannya dengan mengandalkan skuat berwajah multietnis.
Ada yang berdarah Serbia (Vladimir Stojkovic, Slavisa Jokanovic, Vladimir Jugovic, Sinisa Mihajlovic, Gordan Petric); Bosnia (Meho Kodro, Faruk Hadzibegic, Mehmed Bazdarevic, Fahrudin Omerovic); Montenegro (Predrag Mijatovic, Dejan Savicevic, Branko Brnovic); Makedonia (Vujadin Stanojkovic, Ilija Najdoski, Darko Pancev), dan bahkan Slovenia (Darko Milanic, Dzoni Novak) yang sebenarnya sudah memutuskan memisahkan diri setahun sebelumnya seperti Kroasia.
Advertisement
Laga Kedua di Firenze
Namun perang berkecamuk di kampung halaman. Osim kemudian mengundurkan diri dari jabatan pada Mei 1992, diikuti beberapa pemain yang setia kepadanya yakni Hadzibegic, Bazdarevic, Kodro, dan Pancev.
Sementara persiapan timnas tetap berlanjut. Kini ditangani asisten Osim, Ivan cabrinovic, Yugoslavia melakoni uji coba melawan Fiorentina. Ironisnya, pertandingan digelar di Firenze, lokasi tersingkirnya tim pada Yugoslavia.
Sementara pejabat Federasi Sepak Bola Yugoslavia dan beberapa pemain terbang ke Swedia, lokasi Piala Eropa 1992, untuk berdiplomasi.
Namun usaha mereka sia-sia akibat intervensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resolusi nomor 757 bagian 8b menekankan setiap anggota PBB untuk mencegah partisipasi individu atau tim asal Yugoslavia dalam event olahraga.
Surat dari Johansson
Sebuah limosin abu-abu mendatangi markas Yugoslavia di Moskogen, akhir Mei 1992. Di dalamnya ada Lennart Johansson yang ketika itu menjabat presiden UEFA. Bersenjatakan resolusi PBB, dia memberi vonis hukuman mati bagi Yugoslavia untuk mengikuti Piala Eropa.
Partisipasinya kali ini sangat kontras dengan setahun sebelumnya. Pada Mei 1991, Johansson menganugerahkan trofi Piala Champions, cikal Liga Champions, kepada juara pertama dari Yugoslavia, Red Star Belgrade.
"Saya menyesali semua yang terjadi. Saya mengerti kekecewaan pemain. Namun semua harus mengerti keputusan DK PBB," ungkap Johansson usai bertemu Presiden Federasi Sepak Bola Yugoslavia, Miljan Miljanic, 31 Mei 1992.
Advertisement
Menyisakan Serbia
Yugoslavia pun dicoret dari Piala Eropa 1992, hanya 10 hari sebelum turnamen dimulai. Seperti diketahui kemudian, Denmark yang ditunjuk sebagai pengganti keluar sebagai juara.
Sementara perang terus berkecamuk di Yugoslavia. Makedonia (kemudian menjadi Makedonia Utara) serta Bosnia-Herzegovina mengikuti jejak Kroasia dan Slovenia memerdekakan diri. Montenegro juga memilih pisah pada 2006 diikuti Kosovo dua tahun kemudian.
Yugoslavia sendiri sempat kembali berkompetisi di pentas internasional hingga 2003 dengan embel-embel identitas baru. Kini mereka tinggal menyisakan Serbia.