YLKI: Mahalnya Masker dan Hand Sanitizer Paling Banyak Dilaporkan Konsumen

YLKI mencatat adat enam kasus pengaduan yang banyak dilaporkan oleh konsumen di tengah pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2020, 14:20 WIB
Orang-orang bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi masker medis di Kairo, Mesir, 14 April 2020. Para karyawan bekerja siang dan malam untuk mengoperasikan lima mesin canggih yang dibawa dari China untuk memproduksi hingga 750.000 masker medis per hari. (Xinhua/Wu Huiwo)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat adat enam kasus pengaduan yang banyak dilaporkan oleh konsumen di tengah pandemi Covid-19. Tertinggi menyangkut soal masker dan hand sanitizer.

"Terhitung sejak bulan Februari lalu, YLKI banyak menerima pengaduan oleh konsumen. Setidaknya ada 7 kasus yang banyak diadukan oleh konsumen di tengah pandemi ini," ujar dia dalam peringatan puncak Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2020 di Jakarta, Kamis (3/9).

Pertama, masker dan hand sanitizer. YLKI mencatat aduan atas dua alat kesehatan itu mencapai 33,30 persen.

"Karena kita tahu di awal pandemi masker dan hand sanitizer sangat langkah. Kalau ada, harga mahal dan kualitas abal-abal," ujarnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak aparat penegak hukum dan regulator untuk mengusut adanya penimbunan. "Kita kirim surat ke Dirjen PKTN, Mabes Polri, Kemenkes, dan KSP," paparnya.

Kedua, Transportasi. YLKI mencatat tingkat aduan mencapai 25 persen. Dimana aduan konsumen kesulitan untuk melakukan refund tiket, dan menolak refund berbentuk voucher.

"Kita tahu PSBB merupakan petaka bagi konsumen, yang telah booking tiket moda transportasi. Operator kesulitan untuk memenuhi tuntutan refund dan refund digantikan oleh voucher. Bukan cash money," terangnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni meminta Kementerian Perhubungan selaku regulator untuk melakukan mediasi antara operator dan konsumen. "Karena kan operator kesulitan jika refund berbentuk cash money," imbuh dia.

Ketiga, Belanja Online. YLKI mencatat jumlah pengaduan mencapai 16,67 persen, dengan dominasi kasus penipuan atau harga tinggi.

"Tren atas belanja online membawa potensi atas tindakan penipuan dan penjualan barang-barang tertentu dengan harga tinggi. Khususnya alat kesehatan," cetusnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, dengan meminta Dirjen PKTN Kementerian Perdagangan untuk memperketat pengawasan. Juga mendorong aparat hukum agar tegas memberikan sanksi bagi penjual nakal yang terbukti merugikan konsumen," tambahnya.

Keempat, Relaksasi Jasa Keuangan. YLKI mencatat presentase pengaduan mencapai 11,11 persen.

"Awal pandemi presiden (Jokowi) menjanjikan relaksasi debitur jasa finansial, termasuk leasing. Namun realita dilapangan konsumen kecewa relaksasi tidak bisa dieksekusi," paparnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak OJK, Perbankan, dan operator transportasi untuk membuat kriteria yang jelas dan transparan. Sehingga masyarakat dapat menerima manfaat atas relaksasi yang dijanjikan negara.

Kelima, supermarket mencapai 5,50 persen terkait lonjakan dan kelangkaan sejumlah barang. Terakhir, layanan kesehatan dengan presentase pengaduan mencapai 2,07 persen. Adapun jenis pengaduannya meliputi harga rapid test yang mahal, rapid tes sebagai syarat untuk penggunaan transportasi umum dan fenomena komersialisasi layanan rapid test.

"Untuk advokasi, kita minta hilangkan rapid test sebagai syarat. Mengingat rapid test tidak efektif dalam menekan penyebaran virus Corona," tukasnya.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Harga Masker Melonjak karena Semua Negara Berebut Bahan Baku

Pekerja memproduksi pakaian pelindung di sebuah pabrik di Nantong, Provinsi Jiangsu, China, Senin (27/1/2020). Pakaian pelindung tersebut diproduksi untuk mendukung pasokan bahan medis saat wabah virus corona melanda China. (STR/AFP)

Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ade Tarya menjelaskan faktor penyebab harga masker bisa naik beberapa kali lipat dan menjadi mahal di pasaran. Penyebabnya tak lain mayoritas bahan baku hingga produk masker berasal dari luar negeri alias impor.

“Masker saja 30 persen produksi dalam negeri, 70 persen impor. Itu pun harga industri dalam negeri terintimidasi dengan harga impor dari China,” kata dia dalam rapat virtual dengan Komisi IX, Rabu (8/4/2020).

Tantangan produsen masker setelah merebaknya Corona Covid-19 yakni melonjaknya harga bahan baku. Mengingat negara sumber, seperti China dan Taiwan mengutamakan penggunaan di dalam negeri.

“USD 2,6 per kilogram menjadi USD 80 per kilogram. China dan Taiwan mengutamakan penggunaan dalam negeri. Di sini diperlukan peran pemerintah melakukan komunikasi G to G (government to government),” ujar dia.

“Biaya operasional tinggi dengan overtime dan bahan baku tinggi, masker tadinya Rp 30.000 menjadi Rp 200.000 di pasaran,” kata dia.

Karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah perlu memfasilitasi para produsen alat kesehatan untuk mendapatkan bahan baku. Bila perlu pemerintah dapat memberikan subsidi bahan baku.

“Jadi kami harapkan pemerintah mengadakan bahan dan disubsidi. Apa mungkin kita jual seadanya dengan harga bahan baku yang tidak terjangkau produsen. Bantuan pemerintah soal bahan baku itu penting,” ungkapnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya