Liputan6.com, Jakarta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) berkabung atas meninggalnya para dokter Tanah Air selama pandemi COVID-19.
Data per 30 Agustus 2020 malam, PB IDI mencatat sudah 100 dokter yang gugur terkait COVID-19. Selang empat hari, tepatnya Kamis, 3 September 2020, daftar dokter yang meninggal karena COVID-19 bertambah lima. Berarti, sudah 105 dokter yang gugur dalam kurun waktu sekitar enam bulan.
Advertisement
"Dari laporan yang masuk ke Pengurus Besar (PB) IDI per 3 September 2020, ada 105 dokter yang meninggal dunia," kata Humas PB IDI Abdul Halik Malik saat dikonfirmasi Health Liputan6.com lewat pesan singkat.
Rasio kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia termasuk tertinggi di dunia dibandingkan di negara lain, yakni nomor 3 setelah Rusia dan Mesir serta tertinggi nomor 1 di Asia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi.
Melihat tingginya jumlah dokter yang gugur, PB IDI akan menganalisis penyebaran COVID-19 pada tenaga medis. Adib menyebutkan bahwa organisasinya ingin mengetahui penyebab kematian para dokter selain terpapar COVID-19 saat memberikan pelayanan. Bisa jadi ada faktor komorbiditas pada individu.
"Ini penting, bagaimana kami membuat sebuah langkah untuk melakukan perlindungan dan keselamatan kepada tenaga medis," kata Adib seperti melansir Antara.
Bukan Semata-Mata karena APD
Analisis awal gugurnya para dokter, menurut Adib, bukan hanya karena alat proteksi/pelindung diri (APD). Persoalan tersebut lebih terkait kepada standarisasi sistem pelayanan dan regulasi selama pandemi COVID-19. Termasuk persoalan beban kerja para dokter yang berat dalam melayani pasien COVID-19.
"Oleh karena itu, perlu upaya memperbaiki sistem beban kerja tenaga medis dan kesehatan serta fase istirahatnya," jelas Adib sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com.
Dokter dan tenaga kesehatan dapat mempunyai cukup waktu untuk istirahat, sehingga menghindari terjadi kelelahan. "Ketika didera kelelahan, tenaga medis akan berisiko tinggi terpapar COVID-19," lanjut Adib.
Adib juga menekankan pentingnya upaya pemetaan (mapping) ketersediaan fasilitas kesehatan (faskes) dan sumber daya manusia (SDM). Hal ini menjadi bekal dalam melihat seberapa besar kemampuan masing-masing wilayah untuk menangani pasien COVID-19.
"Mapping ketersediaan faskes dan SDM berbasis kewilayahan harus dilakukan untuk menilai kesiapan dan kemampuan wilayah, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya antisipasi atau pencegahan," tambah Adib yang juga Wakil Ketua Umum PB IDI ini.
Advertisement
Penyebab Tenaga Medis Terpapar COVID-19
Adib mengatakan, saat ini semua tenaga medis dan kesehatan memang memiliki potensi risiko yang sama untuk terpapar COVID-19.
"Apalagi paparan transmisi lokal di masyarakat cukup tinggi serta pasien tanpa gejala juga meningkat," kata Adib.
Ada beberapa risiko yang menyebabkan tenaga medis terpapar COVID-19. "Pertama, penerapan beban jam kerja dan waktu istirahat yang belum optimal, sehingga memunculkan risiko burn out (kondisi yang menggambarkan perasaan kegagalan dan kelesuan) serta kelelahan," jelas Adib.
Jam kerja berlebihan membuat para tenaga medis kurang istirahat, yang dapat memengaruhi imunitasnya. Apalagi angka morbiditas dan kematian tenaga medis, terutama di delapan provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua) yang menyumbang 74 persen kasus terkonfirmasi positif COVID-19.
"Tingginya angka testing dan terkonfirmasi positif diikuti dengan angka keterpakaian tempat tidur (bed occupancy rate) perawatan rumah sakit berdampak pada potensi risiko overload dan overcapacity rumah sakit," lanjut Adib.
Senada dengan Adib, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra mengatakan kasus COVID-19 sudah overcapacity sehingga membuat tenaga kesehatan terutama dokter terforsir sehingga imunitasnya menurun.
"Berkaitan dengan daya tahan tubuh, ditambah dengan stres kerja, pada akhirnya juga mudah terpapar virus," jelas Hermawan.
"Ini juga memberikan resiko kelelahan fisik dan mental, yang bisa terjadi pada tenaga medis, sehingga meningkatkan risiko terpapar COVID-19 lebih tinggi."
Kedua, yang menjadi penyebab risiko tenaga medis terpapar COVID-19 berkaitan dengan tata kelola ruang. Tata kelola ruang dalam praktik pelayanan kesehatan perlu ketersediaan ruangan tekanan negatif yang mumpuni.
"Ventilasi yang baik, exhaust (alat mempercepat sirkulasi udara) dan air purifier (alat menjernihkan udara) dengan hepa filter (penyaring) harus menjadi regulasi standarisasi," jelasnya.
"Tujuannya mengurangi paparan virus, yang berujung menurunkan viral loading (jumlah partikel virus yang masuk ke tubuh). Hal ini juga berkaitan dengan desain fasilitas kesehatan dalam pelayanan yang didesain khusus menghadapi virus.
Hermawan juga menyampaikan hubungan langsung antara dokter dengan pasien positif di ruang-ruang rumah sakit yang tertutup, seperti misalnya ruang operasi membuat dokter rentan terinfeksi. Ini sesuai dengan pengumuman Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengenai kemungkinan transmisi COVID-19 melalui udara (aerosol) di ruang tertutup beberapa waktu lalu.
"Nah, itu bisa saja menginfeksi para tenaga kesehatan ya, sebenarnya tidak hanya dokter, perawat juga sama," tutur Hermawan.
Ketiga, soal risiko tenaga medis terpapar COVID-19, yakni penapisan atau skrining yang kurang ketat. Jika dimungkinkan perlu ditunjang pemeriksaan PCR.
Keempat, praktik tenaga medis yang berusia di atas 60. "Sebaiknya ada pembatasan praktik pelayanan pada kelompok tenaga medis usia di atas 60 tahun, terlebih kalau mempunyai penyakit komorbid," ujar Adib.
Kelima, menyoal ketersediaan alat pelindung diri (APD). Bahwa APD berkualitas harus selalu tersedia. Penggunaan APD pun perlu didukung dengan cara memakai dan melepas dengan benar.
Faktor penggunaan alat pelindung diri yang digunakan secara kurang tepat dan durasi kerja tenaga kesehatan yang panjang juga disoroti oleh epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko.
"Mungkin kalau semuanya sudah pakai (APD, -red.), masalahnya jam kerjanya kelebihan di Indonesia. Oleh karena kelebihan maka kelelahan dan akhirnya abai. Itu menjadi faktor penyebab banyaknya tenaga kesehatan, banyaknya dokter Indonesia meninggal," ujar Tri Yunis, dihubungi Kamis, 3 September 2020.
Penggunaan APD yang terlalu lama, menurut Tri Yunis, berdampak pada daya tahan tubuh para tenaga medis. Daya tahan tubuh berkurang itu membuat para tenaga medis rentan terinfeksi COVID-19.
Sementara, selain menyebutkan tiga kemungkinan penyebab tenaga medis Indonesia berguguran, Hermawan melihat ada banyak faktor yang lain yang saling terkait. Dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu merupakan hubungan antara kebijakan yang tidak konsekuen dan konsisten dan penanganan pandemi yang relatif lambat.
Hermawan mencontohkan, aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan istilah tansisi atau proporsional yang menurutnya tidak efektif. Dengan adanya PSBB transisi itu, semua sektor seperti transportasi, perkantoran, pabrik dan daerah wisata kembali dibuka dan tempat-tempat tersebut cenderung penuh dan ramai. Hal itu tentunya berdampak pada upaya pencegahan penyebaran COVID-19.
Lalu, Hermawan menilai, penanganan COVID-19 di Indonesia juga relatif lambat. "Kita lihat detection rate kita masih 46 persen dari total spesimen yang harusnya kita mampu periksa, kita baru ada di rentang antara 25 ribu-30 ribu spesimen per hari. Maka kenaikan kasusnya antara 2.500-3.000-an sekarang ini, jadi belum betul-betul signifikan. Padahal kasus di lapangan itu luar biasa tinggi."
Hermawan mengibaratkan lebih dari 100 dokter meninggal karena COVID-19 itu tak ubahnya fenomena gunung es yang bongkahan besarnya belum terukur dan terdeteksi dengan baik.
"Nah, inilah tantangan pengendalian COVID-19 di Indonesia yang memang keterkaitan antara health system capacities kita, kebijakan penanganan. Dan juga yang paling utama ya tentu perilaku individu dan masyarakat," ujarnya.
Meski demikian, Hermawan mengatakan tak bisa sepenuhnya menyalahkan perilaku individu dan masyarakat selama upaya pencegahan yang dilakukan bersifat imbauan.
"Imbauan itu kadang ada yang nurut tapi lebih banyak yang tidak nurut."
Upaya Kemenkes
Kementerian Kesehatan RI turut menyampaikan duka cita mendalam atas gugurnya para pahlawan medis yang tertular bahkan menjadi korban di tengah perjuangan mengatasi pandemi COVID-19.
"Kemenkes berharap ke depan tidak ada lagi tenaga kesehatan yang gugur dalam menangani COVID-19," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kemenkes RI, Abdul Kadir.
Kadir juga menerangkan bahwa Kemenkes terus memberikan dukungan kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan COVID-19, salah satunya lewat ketersediaan APD.
"Kemenkes memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan dengan tetap menjamin ketersediaan APD dan sarana prasarana bagi rumah sakit," katanya.
Lalu, kesejahteraan tenaga kesehatan yang bertugas menangani COVID-19 juga mendapat insentif. Pemerintah menganggarkan Rp5,6 triliun untuk insentif tenaga kesehatan yang menangani COVID-19. Sebanyak Rp1,9 triliun dikelola Kementerian Kesehatan sementara Rp3,7 dikelola Kementerian Keuangan.
Bagi tenaga kesehatan yang gugur, Kemenkes memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan sebesar Rp300 juta.
"Ini sebagai apresiasi dan penghormatan dari pemerintah Indonesia kepada yang gugur sebagai pahlawan kesehatan," kata Kadir dalam dalam Doa Bersama dan Hening Cipta untuk Keselamatan Dokter Indonesia pada Rabu, 2 September 2020.
Ketika ditanyai mengenai upaya yang dilakukan Kemenkes agar tidak lagi ada dokter yang meninggal, Kadir belum bisa menjawab karena tengah rapat bersama anggota DPR pada Kamis, 3 September 2020 sore.
Advertisement
Bangsa Tidak Mampu Melindungi Tenaga Kesehatan
Melihat banyaknya dokter yang meninggal pendiri Kawal COVID-19 Ainun Najib mengatakan bahwa kita sebagai bangsa tidak bisa melindungi mereka.
Ainun mengumpamakan bahwa tenaga kesehatan adalah tameng atau pelindung masyarakat dari paparan virus.
“Mereka adalah tameng kita dari wabah ini tapi justru kita sebagai bangsa tidak berhasil melindungi mereka. Baik kita sebagai masyarakat yang kurang disiplin mengikuti protokol kesehatan ataupun dari institusi yang seharusnya melindungi mereka.”
Penyediaan APD dan berbagai macam protokol perlu ditinjau ulang dan ditingkatkan guna mengurangi risiko paparan virus pada tenaga kesehatan.
Solusi
Hermawan mengatakan, menghadapi virus Corona harus dengan upaya pencegahan, selama belum ditemukan vaksin atau obat bagi COVID-19. Akan sangat berisiko jika masyarakat abai terhadap upaya tersebut.
Dalam menghadapi pandemi virus Corona SARS-CoV-2, Hermawan menyarankan agar negara tak semata membangun benteng (para tenaga kesehatan dan infrastruktur kesehatan), melainkan juga memperkuat pasukan infanteri di garis perlawanan yakni masyarakat.
"Jadi, hendaknya masyarakat, baik secara individu maupun komunitas, diperkuat berbasis RT/RW, kampung, kelurahan atau desa yang di situ ada kolaborasi antara pemimpin formal, seperti kepala desa, lurah, RT/RW dengan juga tenaga kesehatan masyarakat," tutur Hermawan.
Langkah tersebut diistilahkannya sebagai community based fighting initiative.
"Dan ini sifatnya primary prevention, pencegahan yang utama. Maka itu kalau peran dokter itu kan peran merawat dan mengobati, terakhir sekali. Orang terkena sakit baru berhubungan dengan dokter dan seterusnya, terutama berkaitan dengan COVID-19."
Penguatan pencegahan COVID-19 di tingkat masyarakat ini menjadi kunci. Hermawan menilai, langkah pencegahan tersebut sudah disadari namun implementasi di lapangan belum terlalu kuat.
"Kalau berharap dokter, perawat, faskes, seberapa pun kapasitas kita menghadapi prevalensi COVID-19 yang cepat ini, akan jebol juga. Dan akan banyak yang terinfeksi dan juga mungkin berguguran. Kita tidak inginkan hal itu. Tetapi kalau kita belajar dari berbagai negara di belahan dunia lain yang jutaan kasus, nah relevansinya pasti juga akan naik angka kematian, termasuk nakes juga."
Sementara, Tri Yunis memberi perhatian pada jam kerja para tenaga kesehatan. Menurutnya, jam kerja para nakes jangan sampai lebih dari enam jam. Selepas enam jam, harus berganti dengan tenaga kesehatan lainnya.
Hanya saja, saat ini hal itu terkendala oleh jumlah tenaga kesehatan yang terbatas. Karenanya, senada dengan Hermawan Saputra, Tri Yunis juga mengajak masyarakat untuk melakukan pencegahan penularan COVID-19.
"Oleh karena itu marilah bersama-sama, masyarakatnya harus mencegah jangan sampai sakit. Dokternya jadi cukup. Kalau banyak yang sakit, kan dokternya enggak akan cukup. Perawatnya juga enggak akan cukup. Jadi masyarakat juga membantulah tenaga kesehatan dengan pakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan," tuturnya.
Selain itu, Tri Yunis juga berharap Pemerintah lebih bijaksana dalam menyikapi pandemi COVID-19.
Advertisement
Bagaimana dengan Negara Lain?
Jika dibandingkan dengan data kematian tenaga medis di luar negeri dari Amnesty International’s Monitoring, bisa terlihat betapa tenaga medis juga menjadi korban infeksi COVID-19.
- Amerika Serikat
Negara ini masih bertengger di posisi satu dunia dengan kasus konfirmasi COVID-19 tertinggi yakni 6.011.042 seperti melihat data dari laman WHO, pada Jumat (4/9/2020) pukul 1 WIB.
Ada 1.077 jiwa tenaga kesehatan meninggal dunia per 1 September 2020, data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC). Menurut CDC, itupun hanya data dari tenaga medis terdaftar yang hanya sekitar 23,45 persen dari keseluruhan.
- Meksiko
Terdapat 1.320 tenaga kesehatan meninggal dunia per 25 Agustus 2020. Pemerintah Meksiko telah mencatat data lengkap kematian tenaga medis, termasuk telah dipilah berdasarkan usia, jenis kelamin, dan profesi.
Tingginya angka kematian tenaga medis di negara yang berbatasan dengan Amerika Serikat ini karena kasus di Meksiko tinggi yakni masuk dalam 10 peringkat terbanyak kasus COVID-19 dengan 606.036.
- Inggris
Sebanyak 649 tenaga kesehatan meninggal dunia per 20 Juli 2020, data dari Office for National Statistics (ONS). Pada Jumat, 4 September 2020 pukul 1 WIB, di laman WHO menunjukkan ada 337.172 kasus konfirmasi COVID-19 di negara ini.
- Brasil
634 tenaga kesehatan meninggal dunia per 25 Agustus 2020, data dari Cofen, SIMESP. Negara denagn kasus terbanyak kedua setelah AS, per 4 September 2020 sudah ada 3.950.931 orang terinfeksi COVID-19.
- Rusia
Amnesty International’s Monitoring tenaga medis mencapai 631 jiwa per 12 Agustus 2020. Sebanyak 1.005.000 orang di negara ini yang terinfeksi virus SARS-C0V-2 per 4 September 2020 pukul 1 WIB.
- India
Indian Medical Association menyatakan terdapat 87.000 tenaga medis di India terinfeksi dan 573 meninggal. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah 3.853.406 orang terinfeksi COVID-19 di India.
- Afrika Selatan
Sekitar 240 tenaga kesehatan meninggal dunia per 4 Agustus 2020, data dari South Africa Department of Health. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah 630 ribu orang terinfeksi COVID-19 di Afrika Selatan.
- Iran
Tercatat 164 tenaga kesehatan meninggal dunia per 23 Agustus 2020, data dari Menteri Kesehatan Iran. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah 378.752 orang terinfeksi COVID-19 di Iran.
- Italia
Data dari Medscape, FNOMCeO, sebanyak 188 tenaga kesehatan meninggal dunia per 2 Juli 2020. Sudah ada 270 ribu orang terinfeksi virus SARS-CoV-2 di sini.
- Filipina
Data dari Medscape 34 jiwa per 12 Agustus 2020. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah 226.440 orang terinfeksi COVID-19 di negara ini.
- Osaka, Jepang
Tercatat ada 3 orang yang meninggal dunia per 22 Juni 2020, data dari Osaka Medical Association. Ketiganya merupakan dokter klinik yang tidak tahu bahwa pasien yang ia rawat positif Covid-19.
"Mereka adalah dokter yang merawat pasien tanpa mengetahui bahwa pasien tersebut terinfeksi virus," kata Shigeto Shigematsu, ketua Asosiasi Medis Osaka, dilansir dari Asahi.
- Thailand dan Malaysia
Tercatat di masing-masing negara ada 2 orang per 12 Agustus 2020 yang meninggal karena COVID-19, data dari Medscape. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah 347 orang terinfeksi COVID-19 di Thailand dan Malaysia 9.360.
- Korea Selatan dan Australia
Tercatat 1 tenaga kesehatan di masing-masing negara di atas meninggal per 12 Agustus 2020, data dari Medscape. Per 4 September 2020 pukul 1 WIB, sudah ada 20.644 orang terinfeksi COVID-19 di Korea Selatan dan di Australia 25.923.
Data yang tertera ini, menurut Amnesty International, memberikan gambaran di berbagai negara. Namun, perlu ditafsirkan dengan hati-hati. Karena pemahaman tentang siapa yang merupakan tenaga medis tidak sama di semua negara.
Di beberapa negara, jumlah kematian dan infeksi terkait COVID-19 untuk tenaga kesehatan mungkin tinggi karena skala pandemi yang parah. Sedangkan di negara lain, ini mungkin tinggi karena APD yang memadai tidak tersedia, atau statistik mungkin hanya mencerminkan fakta bahwa sebagian besar pekerja kesehatan dites dibandingkan dengan populasi umum.