Peneliti Australia Ungkap Kontradiksi Jokowi dalam Bukunya

Peneliti Australia merilis buku tentang Jokowi berjudul Man of Contradictions.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 03 Sep 2020, 18:50 WIB
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Nantinya DPR akan membahas RAPBN 2020 untuk selanjutnya disahkan menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Jakarta - Peneliti Australia, Ben Bland, menulis buku tentang Presiden Joko Widodo berjudul Man of Contradictions. Buku itu menuliskan berbagai kontradiksi di sekitar kepemimpinan Jokowi.

Meski sudah setengah dekade menjadi orang nomor 1 di Indonesia, Presiden Jokowi disebutnya masih mirip wali kota. 

Dilaporkan ABC Indonesia, Kamis (3/9/2020), dalam enam bab buku setebal 180 halaman ini, Ben memaparkan bagaimana "seorang pembuat mebel" berhasil menangkap imajinasi bangsa Indonesia tentang sosok pemimpin yang diidam-idamkan, namun juga penuh "kontradiksi".

"Kontradiksi tidak sepenuhnya konsep yang negatif, tapi menyiratkan Jokowi sedang bertarung untuk mendamaikan banyak persoalan," ujar Ben. 

Ben menjabarkan bagaimana Jokowi mengejar mimpi-mimpi ekonomi, memposisikan dirinya di tengah pergulatan demokrasi dan otoritarianisme, serta di panggung internasional.

Ia mengatakan, Jokowi telah meraih sejumlah pencapaian, kebanyakan di bidang infrastruktur dan kebijakan lain yang terfokus pada ekonomi.

Ben mengakui jika sosok Jokowi adalah pemimpin yang populer, kembali terpilih dengan suara mayoritas yang naik serta memiliki banyak modal politik.

"Pertanyaan saya adalah bagaimana ia memanfaatkan itu? Ia terus mengatakan ingin mendorong Indonesia melewati reformasi, tapi sejauh ini ia sangat berhati-hati," ujarnya kepada ABC Indonesia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Wali Kota di Istana Presiden

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat KTT ASEAN Khusus Tentang COVID-19 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (14/4/2020). Jokowi mengajak negara-negara ASEAN bersinergi melawan COVID-19. (Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Dalam bukunya Ben menyebutkan "setelah mengamati dari dekat, terlihat bahwa semakin lama Jokowi berada di istana, maka semakin pudar pula janji-janjinya."

Dikatakan, begitu memasuki periode kedua, sosok yang sebelumnya menawarkan diri bukan bagian dari elit politik, telah berubah menjadi elit yang membangun dinasti politiknya sendiri.

"Sosok yang pernah dipuja karena reputasinya yang bersih, malah telah memperlemah lembaga pemberantasan korupsi, memicu aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar," tulis Ben.

"Kelemahan kepemimpinannya terungkap oleh krisis COVID-19. Pemerintahannya menunjukkan jejak-jejak buruk: tidak menghargai pendapat pakar kesehatan, tidak mempercayai gerakan masyarakat sipil, dan gagal membangun strategi terpadu," katanya.

Meski demikian, Ben mengatakan sosok Jokowi masih tetap populer di tengah pandemi dengan nada kritikan kepadanya pun terdengar "berbeda". 

Strategi politik Jokowi sangat sederhana, yaitu mendengarkan apa yang dikehendaki rakyat dan mencoba wujudkannya, seperti yang terlihat "efektif" saat ia menjadi Wali Kota Solo.

"Tapi ketika memerintah sebuah negara berpenduduk begitu banyak, ribuan pulau, beragam agama dan suku, serta 550 wali kota dan gubernur terpilih, jadi 550 Jokowi lainnya yang ingin menjalankan kepemimpinannya masing-masing, maka politik menjadi semakin kompleks," jelasnya.

"Selama enam tahun berada di istana, dia belum bisa beranjak ke level strategis. Dia lebih sebagai seorang wali kota di istana presiden," kata Ben Bland.


Masih Ada Harapan?

Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersiap mengikuti Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin (17/8/2020). Kali ini, Presiden Jokowi memilih menggunakan baju adat Timor Tengah Selatan dari Nusa Tenggara Timur ( NTT). (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Ben mengatakan, masih ada harapan untuk melihat kepemimpinannya berlanjut di Indonesia hingga 2024 mendatang.

"Tapi kita perlu mengakui adanya kekecewaan terhadap Jokowi dari para pendukungnya sendiri," ujar Ben kepada ABC Indonesia.

"Ini menunjukkan Indonesia sebagai sebuah negara yang besar, kompleks, dan terus menghadapi banyak tantangan," jelas Ben.

Ben juga mengatakan jika di dalam bukunya ia juga membahas sejumlah kontradiksi bukan sekedar pada sosok dan kepemimpinan seseorang, tapi mencakup hal yang lebih luas. 

Ben mengaku jika ia sudah menghabiskan hampir 20 tahun untuk memahami Indonesia, dimulai dengan menjadi seorang mahasiswa studi politik Indonesia, kemudian koresponden media internasional, dan kini sebagai pengamat di Lowy Institute.

Dalam delapan tahun terakhir, Ben mengatakan ia terpikat dengan kemunculan dan kerja keras Jokowi.

"Selain dari wawancara dengan presiden, saya juga berbicara dengan puluhan menteri, pejabat, pengusaha pendukung Jokowi serta pengikut-pengikutnya untuk memahaminya," jelas Ben.

Ben menuturkan, dia menemui langsung warga masyarakat biasa di luar Jakarta, mendatangi berbagai tempat di Indonesia, dengan menggunakan pesawat, mobil, kapal ferry, perahu, becak, hingga dokar.

"Saya bersyukur sekali kebanyakan orang Indonesia yang saya temui selalu menyambut baik segala pertanyaan saya," katanya.

Ben mengakui karyanya ini bukan biografi dalam bentuk konvensional, namun ia juga tak bisa menguraikan seluruh aspek kehidupan Jokowi. "Saya hanya ingin memanfaatkan kisah pembuat mebel dari kota kecil yang menjadi pemimpin dunia untuk mengangkat cerita tentang Indonesia," jelasnya.

Hanya dengan memahami kontradiksi-kontradiksi Jokowi, katanya, maka orang bisa memahami sepenuhnya arah Jokowi dan negara yang dipimpinnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya