Industri Lagi Goyang, Ekspor Kelapa Sawit Mampu Tembus USD 10,06 Miliar

Di tengah pandemi corona atau Covid-19, industri kelapa sawit masih menunjukkan kinerja positif.

oleh Gilar Ramdhani pada 03 Sep 2020, 19:25 WIB
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Di tengah pandemi corona atau Covid-19, industri kelapa sawit masih menunjukkan kinerja positif. Bahkan, pada semester I tahun 2020, nilai ekspor sawit sudah tembus 10,06 miliar dollar AS. Diperkirakan, hingga akhir tahun 2020, nilai ekspor sawit tak jauh beda dengan tahun sebelumnya, sebesar 20,2 miliar dollar AS.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono mengatakan, dalam situasi pandemi, industri sawit masih operasional dengan baik.

“Kami memang belum bisa memprediksi nilai ekspor hingga akhir tahun. Tapi, kami berharap ada peningkatan, dan paling tidak seperti tahun sebelumnya,” kata Joko Supriyono, dalam konferensi pers secara virtual, di Jakarta, Kamis (13/8).

Joko mengatakan produksi crude palm oil (CPO) pada Juni 2020 meningkat sebanyak 4.096 ribu ton, atau naik 13,5 persen dibanding Mei 2020. Sedangkan konsumsi dalam negeri pada Juni 2020 turun 3,5 persen menjadi 1.331 ribu ton dibanding bulan sebelumnya. Sementara itu,  ekspornya naik signifikan sebesar 13,9 persen menjadi 2.767 ribu ton.

“Naiknya produksi pada bulan Juni  dibanding Mei 2020 diduga selain karena carry over produksi bulan Mei yang terkendala karena lebaran, sebagian provinsi telah masuk ke periode tren produksi naik,” kata Joko.

Sedangkan, rendahnya  konsumsi  dalam negeri bulan Juni dibandingkan dengan Mei, lanjut Joko, diduga disebabkan oleh pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sehingga, konsumsi untuk pangan turun 3,9 persen menjadi 638 ribu ton. Namun, persentase penurunan konsumsi pangan lebih rendah dari rata-rata penurunan  tiga bulan sebelumnya sebesar 5,4 persen.

“Konsumsi biodiesel pada Juni turun sebesar 5,4 persen dibanding bulan Mei menjadi 551 ribu ton. Tapi, konsumsi biodiesel semester I tahun 2020 meningkat 25 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan, adanya implementasi program B30,” kata Joko.

 


Oleokimia dan CPO

Ilustrasi Kelapa Sawit.

Menurut Joko, dalam kondisi seperti ini, konsumsi oleokimia dalam negeri bulan Juni  2020 mengalami kenaikan sebesar 6,8 persen, dibandingkan bulan Mei 2020. Gapki juga mencatat, terjadi kenaikan ekspor cukup tinggi pada bulan Juni 2020, setelah turun pada bulan sebelumnya. Kenaikan terjadi pada CPO (31%), refined palm oil (10,2%), minyak laurik (6%) dan juga adanya ekspor biodiesel.

Kenaikan terbesar untuk ekspor dengan tujuan India (52%) menjadi 583 ribu ton, Afrika (43,3%) menjadi 271 ribu ton, China (33%) menjadi 440 ribu ton, dan Pakistan (32%) menjadi 203 ribu ton. Kenaikan ekspor CPO ke India mencapai 206 ribu ton dari total kenaikan sebesar 200 ribu ton. Namun terjadi penurunan pada ekspor produk lain terutama refined palm oil.

“Naiknya ekspor sawit salah satunya didorong oleh kenaikan harga CPO, dari rata-rata 526 dollar AS pada bulan Mei menjadi  602 dollar AS per ton-Cif Rotterdam pada Juni. Nilai ekspor juga naik dari 1,474 miliar dollar AS menjadi 1,624 miliar dollar AS,” ujar Joko.

Joko juga mengatakan, sejumlah negara tujuan ekspor sejak Februari sudah lock down. Sehingga, pasar utama  sawit seperti Eropa, China, dan sejumlah negara lainnya mengalami pelemahan. Hanya beberapa negara, seperti  India (plus 23 persen), Amerika ( plus 7 persen)  dan Pakistan (plus 1 persen). Lantaran sejumlah negara tujuan ekspor mengalami lock down, volume ekspor  sepanjang semester I pun terkontraksi 15,5 juta ton, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 17,5 juta ton.

Menurut Joko, dengan pulihnya kegiatan ekonomi China, India dan sejumlah negara lain, permintaan minyak nabati untuk kebutuhan domestiknya mulai naik. Kegiatan ekonomi Indonesia juga sudah mulai pulih, sehingga kedepan permintaan minyak sawit untuk pangan diperkirakan juga akan naik mengikuti permintaan oleokimia dan biodiesel. 

“Kenaikan permintaan dan membaiknya harga minyak bumi diperkirakan akan menyebabkan harga minyak nabati naik,” pungkasnya.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya