Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo mendorong perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya agar terlibat aktif untuk memanfaatkan integrasi data perpajakan dari DJP.
Keterlibatan BUMN diharapkan dapat membantu kinerja pemerintah dalam upaya mengumpulkan penerimaan negara.
Advertisement
"Kalau kami melihatnya bahwa data dan informasi yang ada di masing-masing BUMN sebetulnya menjadi bagian penting bagi kami untuk melakukan aktivitas pengawasan perpajakan bukan kepada BUMN-nya, tetapi lebih cenderung kepada lawan transaksinya," kata dia dalam acara nota kesepahaman, di Jakarta, Jumat (4/9).
Dia mengatakan, dengan pemanfaatan integrasi data perpajakan BUMN, pihaknya akan dapat lebih mudah mendapatkan tambahan data kewajiban perpajakan. Apalagi pemerintah tidak bisa sendirian dalam mengumpulkan penerimaan negara.
"Oleh karena itu kami butuh orang apalagi model sistem perpajakan kami kita sekarang ini adanya data dari pihak lain kami tidak bisa menguji apakah SPT yang disampaikan itu ujungnya adalah benar atau sebaliknya," jelas dia.
Dia menambahkan, dengan program integrasi data perpajakan ini maka data yang didapat adalah data yang digital. Sehingga tidak perlu pihaknya melakukan intervensi terhadap data yang bersangkutan. Di sisi lain, DJP juga bisa dapat memanfaatkan data itu lebih cepat lebih mudah dan memberikan hasil yang baik.
"Kenapa kami lakukan aksi kesepakatan kan ada titik-titik kita bisa mendapatkan manfaat baik dari sisi kami di sisi wajib pajak dan disisi pengendalinya wajib pajak yaitu Kementerian BUMN atau perusahaan BUMN," tandas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menkeu Prediksi Penerimaan Perpajakan Tumbuh 5,5 Persen pada 2021
Pada tahun 2021, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan perpajakan tumbuh moderat sebesar 5,5 persen. Perkiraan ini diukur dari target Perpres Nomor 72 tahun 2020.
Target tersebut dipandang sejalan dengan kegiatan ekonomi yang diharapkan masih dalam proses pemulihan pada tahun 2001 baik di tingkat nasional maupun global.
“Meskipun demikian, harus diantisipasi. Berdasarkan data terbaru, resiko ketidakpastian akibat covid 19 masih relatif tinggi. Outlook realisasi perpajakan diperkirakan lebih rendah dari yang ditargetkan di dalam Perpres 72 tahun 2020. Dan ini akan membuat rasio perpajakan akan lebih rendah dari yang diperkirakan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sidang paripurna, Selasa (1/9/2020).
Menurut Menkeu, kondisi ini akan berdampak terhadap potensi perpajakan pada tahun 2021. Perluasan basis pajak akan menjadi kunci keberhasilan upaya optimalisasi penerimaan pajak tahun 2021.
“Hal ini akan dapat diwujudkan apabila program reformasi perpajakan yang saat ini sedang dilaksanakan terus diperkuat dan di akselerasi, baik reformasi dari sisi kebijakan atau policy, maupun di bidang administrasi,” kata dia.
Adapun program reformasi perpajakan diterjemahkan ke dalam regulasi perpajakan, organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, serta proses bisnis. Berbagai langkah tersebut, kata Sri Mulyani, sudah menunjukkan hasil yang signifikan.
Sementara pengawasan dan penegakan hukum yang lebih terstruktur dan berkeadilan melalui implementasi Compliance Risk Management serta meningkatkan keandalan sistem informasi teknologi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas data internal dan eksternal yang dimiliki.
“Capaian reformasi perpajakan terakhir juga sangat signifikan, adalah dengan mengimplementasikan Taxpayer Accounting Modul Revenue Accounting System (TPA Modul RAS) oleh Direktorat Jenderal Pajak pada bulan Juli 2020. ini adalah upaya untuk memperbaiki tata kelola piutang pajak sekaligus Menindaklanjuti temuan BPK,” seru Menkeu.
Kemudian, di bidang kebijakan, pemerintah telah melakukan terobosan melalui program tax amnesty, penghapusan sanksi administrasi melalui program reinventing policy, revaluasi aset, kenaikan PTKP, penerapan PPh final tarif 0,5 persen untuk wajib pajak UMKM, dan penurunan tarif PPh badan serta implementasi PPN untuk PMSE. Serta berbagai insentif di dalam rangka penanganan covid 19.
“Kami menyadari bahwa reformasi perpajakan membutuhkan pentahapan dan jangka waktu yang tidak singkat. Pemerintah mengharapkan dukungan semua pihak agar agenda reformasi perpajakan ini dapat terus didorong dan dipercepat realisasinya,” kata Sri Mulyani.
Advertisement
Sri Mulyani Bongkar Penyebab Target Perpajakan Tak Tercapai di 2019
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pada 2019, realisasi penerimaan perpajakan mencapai 86,55 persen dari target APBN. Secara garis besar penerimaan pajak terdiri dari penerimaan yang dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, kondisi usaha dan tingkat kepatuhan wajib pajak.
"Perlambatan perekonomian global yang berdampak pada perlambatan ekonomi nasional serta penurunan harga komoditas perdagangan dunia, sangat mempengaruhi penerimaan perpajakan di tahun 2019," ujar Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Jakarta, Selasa (25/8).
Selain itu, realisasi penerimaan pajak 2019 juga dipengaruhi oleh besaran restitusi yang dibayarkan kepada Wajib Pajak. Realisasi restitusi 2019 mengalami pertumbuhan sebesar 21,11 persen dari periode sebelumnya.
"Pertumbuhan restitusi terutama disebabkan adanya kebijakan pemberian fasilitas restitusi dipercepat yang diambil Pemerintah untuk membantu kalangan dunia usaha dalam rangka menggerakkan roda perekonomian nasional," jelasnya.
Berkaitan dengan peningkatan tax ratio, Pemerintah telah menjalankan reformasi perpajakan yang dilakukan dalam tiga aspek yaitu reformasi kebijakan, reformasi administratif, dan peningkatan kepatuhan. Reformasi perpajakan ditujukan untuk melakukan redesain sistem perpajakan yang optimal, sebagai sumber penerimaan negara.
"Berbagai langkah reformasi di bidang perpajakan ini sudah berjalan, seperti tax amnesty, modernisasi organisasi, simplifikasi administrasi perpajakan, penyesuaian kebijakan perpajakan, dan peningkatan kualitas data pendukung administrasi perpajakan," katanya.
Akui Reformasi Perpajakan Bukan Hal Mudah
Sri Mulyani melanjutkan, reformasi perpajakan bukanlah pekerjaan yang mudah. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 membawa risiko tekanan terhadap penerimaan perpajakan di 2020 dan potensi pertumbuhan yang masih berat di 2021.
"Oleh karena itu, agenda reformasi perpajakan perlu terus diperkuat dan dilanjutkan terutama dalam memperluas basis penerimaan perpajakan. Pemerintah memohon dukungan semua pihak agar agenda reformasi perpajakan ini dapat terus kita dorong dan kita percepat realisasinya," jelasnya.