105 Meninggal Terkait COVID-19, Dekan FKUI: Butuh Bertahun-tahun untuk Ciptakan 1 Dokter

"Ketika dokter meninggal harus bertahun-tahun lagi untuk menciptakan satu dokter," kata Dekan FKUI Ari Fahrial Syam

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 04 Sep 2020, 19:01 WIB
ilustrasi dokter (Foto: Unsplash.com/Arvin Chingcuangco)

Liputan6.com, Jakarta Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Ari Fahrial Syam mengatakan bahwa kejadian meninggalnya 105 dokter akibat COVID-19 membuat kalangan medis di Indonesia risau.

"Ada yang bilang bahwa kami adalah penjaga terakhir, artinya ketika kami menjadi korban, 100, tambah lagi sekarang 105, setiap hari tambah satu, tentu masalah SDM menjadi masalah," kata Ari dalam temu media yang diadakan secara virtual pada Jumat (4/9/2020).

Ari mengatakan, dibandingkan profesi lain seperti pejabat, dibutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk menelurkan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. "Ketika dokter meninggal harus bertahun-tahun lagi untuk menciptakan satu dokter."

"Lulus dokter saja lima setengah tahun, belum lagi internship satu tahun, menjadi seorang spesialis bisa empat tahun, apalagi konsultan, belasan tahun kita harus menginvestasikan satu dokter," kata Ari yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam konsultan ini.

"Maka jangan dianggap remeh. Namun pada saat-saat ini, negara sedang membutuhkan para dokter dan tentu tenaga medis yang lain," ujarnya.

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini


Butuh Waktu Lama untuk Mendidik Dokter

Ilustrasi dokter. (dok. unsplash/@ashkfor121)

Di kesempatan yang sama, dokter spesialis okupasi Dewi S. Soemarko, yang juga peneliti dari Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Kerja FKUI menyatakan sependapat dengan Ari.

"Untuk mendidik mereka, kita butuh waktu yang lama. Karena mereka itu adalah tenaga-tenaga profesional yang tidak bisa dalam tempo singkat mereka menjadi profesional seperti ini," kata Dewi.

"Kita menganggap tenaga kesehatan ini adalah aset. Aset yang memang harus dijaga," ujarnya.

Ari mengatakan bahwa tingginya beban pasien juga berkontribusi pada tingkat stres para tenaga kesehatan. "Walaupun fisiknya sehat tapi kalau dia stresnya tinggi, istirahatnya kurang, ya manusia ini bukan mesin, itu tetap jadi faktor risiko mereka akan mengalami permasalahan kesehatan," ujarnya.

"Ini menjadi pelajaran buat kita memang harus ada pengaturan-pengaturan beban kerja para dokter dengan situasi pandemi ini. Di satu sisi yang penting juga jumlah kasus harus dikurangi. Bagaimana upaya pencegahan itu harus intensif dilakukan, masif dilakukan, kalau tidak yang jadi korban kami para dokter-dokter ini."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya