Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tengah gundah. Penambahan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta terus mencetak rekor baru. Rata-rata, laporan harian yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan, 800-1.000 orang dinyatakan positif setiap hari. Tren ini diakui Gubernur Anies merupakan kondisi yang mengkhawatirkan.
Advertisement
"Jakarta saat ini mengkhawatirkan. Kenapa? Karena angkanya sudah di atas merah, ini dalam 3 minggu terakhir angkanya naik terus," ujar Anies, Jumat (4/9/2020).
Ia menegaskan, tingkat penularan Covid-19 masih sangat tinggi di Ibu Kota. Untuk itu, ia meminta seluruh warga tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan, khususnya menggunakan masker.
Namun, Pemprov DKI agaknya belum akan mengikuti jejak daerah tetangga mereka seperti Kota Bogor yang memberlakukan jam malam untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan, Ibu Kota belum perlu menerapkan kebijakan jam malam seperti daerah tetangga tersebut. Meski demikian, hal itu menjadi masukan bagi pihaknya.
"Untuk DKI belum sampai ke situ, ini jadi masukan," kata politikus Partai Gerindra yang karib disapa Ariza itu di Balai Kota Jakarta, Jumat (4/9/2020).
Riza menerangkan, pihaknya tidak butuh jam malam untuk sekarang. Sebab jauh sebelumnya Pemprov DKI sudah lebih dahulu melakukan pembatasan pada jam operasional perkantoran, restoran dan mal sebagaimana yang diterapkan di Kota Bogor kini.
"Di Jakarta sejak awal pembukaan mal dan restoran kan sudah dibatasi jamnya sampai pukul 20.00 WIB," tandasnya.
Meski begitu, Riza mengakui masih banyak kafe tidak mengindahkan peraturan tentang pembatasan jam operasional. Mereka masih beroperasi di atas waktu yang ditentukan.
Walau mengaku sudah melakukan pembatasan jam operasional serta penerapan protokol kesehatan yang ketat namun hal ini tak selalu berjalan mulus.
"Kami evaluasi memang ada masukan untuk tempat kafe yang buka sampai malam. jam malam ini caranya macam-macam, bisa saja tempat yang buka batas waktunya dipercepat," ujarnya.
Dia menyatakan, Pemprov DKI Jakarta saat ini fokus menerapkan pembatasan jam kerja di perkantoran yang diubah menjadi dua shift, untuk mencegah semakin banyaknya klaster perkantoran.
"Kita juga fokus (pembatasan) jam kerja kantor," ucapnya.
Meski demikian, Ariza menyatakan semua masukan, termasuk penerapan jam malam akan menjadi bahan evaluasi.
Hal senada diungkapkan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin. Dia mengaku belum ada pertimbangan untuk memberlakukan kebijakan jam malam sebagaimana dilakukan Pemerintah Kota Depok dan Bogor.
"Masih dievaluasi apakah itu efektif atau tidak, sementara ini kita belum berlakukan itu," kata Arifin, Jumat (4/9/2020).
Menurut dia, kunci setiap kebijakan Pemprov tergantung pada kedisiplinan masyarakat Jakarta selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi.
Jika masyarakat patuh dan disiplin menjalani segala protokol selama masa PSBB transisi sekaligus pengawasan terus dilakukan, Arifin berpandangan, kebijakan jam malam bisa tidak diberlakukan.
"Prinsip kita sebenarnya, kalau pengawasan efektif, kemudian masyarakat disiplin mematuhi peraturan protokol, masih bisa kita hindari jam malam tadi," dia menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Berkaca pada Tetangga
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto agaknya gerah juga dengan peningkatan yang tak kunjung berhenti dari penambahan pasien positif Covid-19. Tak mau salah mengambil kebijakan, dia pun menggelar rapat dengan mengajak pejabat di lingkungan Kota Bogor.
Rapat yang digelar Jumat 29 Agustus 2020 tersebut dihadiri antara lain Wakil Wali Kota Bogor, Ketua DPRD Kota Bogor, Komandan Kodim 0606 Kota Bogor, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bogor, Komandan Denpom III/1 Kota Bogor, Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polresta Bogor Kota, Sekretaris Daerah Kota Bogor, dan Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bogor.
Rapat akhir pekan lalu itu akhirnya memutuskan untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas (PSBMK) di zona merah Covid-19 selama dua pekan mendatang. Penerapan PSBMK mulai berlaku keesokan harinya, Sabtu 29 Agustus 2020. Ditegaskan, langkah ini diambil karena peningkatan kasus positif corona di kota itu.
"Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) Kota Bogor berdasarkan hasil musyawarah, telah memutuskan untuk memberlakukan PSBMK selama dua pekan, mulai Sabtu besok," kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto di Balai Kota Bogor, Jumat 28 Agustus.
Menurut Bima Arya, Forkopimda memutuskan akan memberlakukan PSBMK di tingkat rukun warga (RW) di zona merah Covid-19 Kota Bogor. Berdasarkan data terakhir, ada 194 RW yang zona merah dari 797 RW di Kota Bogor.
Di zona merah yang diterapkan PSBMK, Pemkot Bogor kemudian memutuskan memberlakukan jam malam. Warga masih tetap bisa bekerja, tapi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, sampai pukul 18.00.
"Sektor usaha, dan kegiatan lainnya tetap bisa dilakukan sampai pukul 18.00 WIB. Kemudian, warga berada di luar rumah, paling malam sampai pukul 21.00 WIB," katanya.
Menurut Bima, di atas pukul 21.00, tidak ada lagi aktivitas warga di luar rumah.
"Tidak ada lagi, kegiatan rapat warga, pengajian, atau sekadar kumpul-kumpul di luar rumah," katanya.
Dampaknya memang langsung terasa. Kebijakan ini membuat Kota Bogor menjadi sepi lebih cepat. Pusat perbelanjaan tersohor di Kota Bogor, Botani Square sudah sepi pada pukul 18.30 WIB. Tak terlihat ada pengunjung, kecuali beberapa petugas keamanan yang berjaga. Dua patung singa bermasker menjaga mal yang gelap dan melompong.
Malam pun terasa lebih gelap. Beberapa depot jamu yang biasa berdagang malam hari memutuskan tak menjalankan usahanya. Demikian pula dengan warung kopi di pingggir jalan yang biasa buka sejak malam hingga fajar, tak terlihat lagi menyeduh air panas.
Tak mau ketinggalan, Pemerintah Kota Depok juga memberlakukan pembatasan aktivitas warga saat malam hari alias jam malam. Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, mulai Senin 31 Agustus 2020, aktivitas warga Depok di luar ruang hanya sampai pukul 20.00 WIB.
"Seluruh aktivitas warga dilakukan pembatasan, maksimal sampai dengan pukul 20.00 WIB," kata Idris, Minggu 30 Agustus 2020.
Dia mengatakan, bagi pusat perbelanjaan dan cafe, meminta untuk menutup jam operasionalnya sejak pukul 18.00, kecuali layanan antar yang dibatasi sampai pukul 21.00.
"Pembatasan operasional layanan secara langsung di toko, rumah makan, cafe, mini market, midi market, super market dan mall sampai dengan pukul 18.00, untuk layanan antar dapat dilakukan hingga pukul 21.00," kata Idris.
Dia mengatakan, pembatasan aktivitas warga tersebut dilakukan untuk mengendalikan peningkatan dan penyebaran kasus Covid-19 di Kota Depok,
"Saat ini lebih dari 70% kasus Covid-19 bersumber dari imported case berasal dari klaster perkantoran dan tempat kerja, yang berdampak pada penularan didalam keluarga," kata Idris.
Namun, Pemkot Depok melalui Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 Kota Depok Dadang Wihana mengatakan, tidak ada pemberlakuan jam malam di Kota Depok. Kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Depok yakni kebijakan Pembatasan Aktivitas Warga (PAW).
"Perlu diluruskan kebijakan yang diterapkan bukan jam malam, tetapi PAW. Jadi, seluruh aktivitas sosial warga dibatasi pada jam tertentu," kata Dadang kepada Liputan.com, Kamis 3 September.
Dadang menjelaskan, kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor : 443/408-Huk/GT tentang Peningkatan Pencegahan dan Penanganan Covid-19 di Kota Depok yang diterbitkan 31 Agustus 2020, dimana aktivitas sosial masyarakat dibatasi hingga pukul 20.00 WIB.
Apa pun itu, yang jelas Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta kepada seluruh jajaran pemimpin daerah di Indonesia, untuk meniru upaya Pemkot Bogor dan Pemkot Depok, Jawa Barat, dalam menanggulangi penularan virus corona.
"Kami mengapresiasi Pemkot Bogor dan Depok yang dengan cepat mengambil langkah dengan menerapkan jam malam untuk wilayahnya, karena penularan yang tinggi. Dan hal-hal seperti inilah yang memang harus dilakukan oleh Pemda," kata Wiku dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (3/9/2020).
Wiku menilai setiap kepala daerah selaku pemimpin satgas penanggulangan corona di wilayahnya harus tanggap dalam mengambil setiap kebijakan, guna menciptakan kondisi yang terkendali.
Wiku juga mengingatkan, segala keran aktivitas baik sosial maupun ekonomi yang ingin kembali dibuka tidak boleh ditempuh dengan langkah gegabah dan berjalan sendiri tanpa koordinasi.
"Karena membuka aktivitas sosial-ekonomi harus selalu melalui tahapan prakondisi, timing, prioritas dan koordinasi dengan Pemerintah Pusat," kata Wiku.
Advertisement
Dari VOC hingga Malari
Jam malam bukanlah cerita baru. Bahkan, sebelum negara ini lahir, jam sudah akrab bagi penduduknya. Namun, penyebabnya bukan karena pandemi atau serangan wabah penyakit seperti sekarang.
Jam malam atau larangan berada dan berkegiatan di luar rumah di malam hari pada jam tertentu, biasanya diberlakukan dalam keadaan bahaya, seperti menghadapi pemberontakan atau pengambilalihan kekuasaan dan perang.
Dalam sejarah Indonesia, beberapa peristiwa mendorong pemberlakuan jam malam. Pada Oktober 1740, penguasa VOC membantai ribuan warga etnis Tionghoa di Batavia karena khawatir akan kemampuan mereka dalam berdagang maupun berbaur dengan warga pribumi.
"Mereka harus tinggal di dalam rumah dalam keadaan gelap gulita karena tidak diperkenankan untuk menyalakan api untuk penerangan sekalipun," tulis Benny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Dikutip dari Historia, pemberlakuan jam malam disertai dengan larangan menyalakan penerangan juga dilakukan penguasa Belanda pada awal Perang Pasifik dan semakin diperketat sejak Singapura bertekuk lutut kepada Jepang.
Di pengujung kekuasaannya pada Maret 1942, Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang. Malam pun menjadi kelabu dan rawan. Jalanan sepi dan lengang. Rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu.
"Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan," kata Saifuddin Zuhri dalam Guruku, Orang-orang dari Pesantren.
Segera setelah mendarat di Jawa, Jepang mengumumkan jam malam masih tetap berlaku. Baru pada 5 Juni 1942 ketentuan jam malam dihapuskan. Menjelang kekalahannya, Jepang memberlakukan jam malam karena berperang dengan Sekutu.
"Begitu matahari tak terlihat di ufuk barat, semua lampu di seluruh kota dimatikan. Kompleks-kompleks yang dipandang strategis seperti tempat tinggal dan perkantoran tidak boleh membiaskan cahaya ke langit. Oleh Jepang, ini bahkan diwajibkan," kata Kris Biantoro dalam otobiografinya, Manisnya Ditolak.
Larangan menyalakan lampu itu karena akan menjadi sinyal bagi pesawat pengebom Sekutu. Menurut Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?, karena aturan jam malam dan pemadaman lampu selama perang tidak dicabut sampai 23 Agustus 1945, seminggu sesudah 17 Agustus 1945, Proklamasi tidak langsung memicu gelora semangat rakyat di Kota Surabaya.
"Baru setelah beberapa lama pasar malam buka kembali dan orang-orang mulai melakukan kegiatan sosial dan jual-beli yang secara tradisional dilakukan pada malam hari," tulis Gouda dan Zaalberg.
Tidak lama kemudian Sekutu datang. Sejak 11 November 1945, Sekutu memberlakukan jam malam dari pukul 18.00 sampai 06.00. Ketika mengambil-alih pendudukan Indonesia dari Sekutu, Belanda memberlakukan jam malam terutama ketika melancarkan agresi militer. Mereka yang terpaksa melakukan perjalanan malam harus memiliki pas khusus dari pihak berwajib.
Pergolakan di beberapa daerah, seperti gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI/Permesta, dan DI/TII SM Kartosuwiryo, juga mendorong pemerintah daerah memberlakukan jam malam.
Begitu pula pascaperistiwa Gerakan 30 september 1965, di berbagai daerah diberlakukan jam malam, dan pada saat itulah tentara melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terkait PKI yang dituduh sebagai dalang G30S.
Jam malam juga diberlakukan di Jakarta pascaperistiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Pergolakan daerah terakhir yang diberlakukan jam malam adalah Darurat Militer di Aceh pada 2003-2004.
Setelah reformasi, beberapa daerah memberlakukan jam malam, bahkan dalam bentuk peraturan daerah, dengan alasan lain, bukan karena peristiwa politik apalagi perang.
Kini sejarah baru ditorehkan. Untuk kali pertama di sejumlah wilayah di Indonesia diberlakukan jam malam karena adanya pandemi atau wabah penyakit.