Liputan6.com, Jakarta - Wali Kota Surabaya R Moestadjab Soemowidigdo, salah satu wali kota yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Pahlawan. Sebelum menjadi Jalan Wali Kota Mustajab, jalan tersebut dikenal dengan nama Jalan Ondomohen.
Bukan tanpa alasan nama wali kota ini diabadikan nama jalan protokol. Pria yang menjabat sebagai wali kota Surabaya sejak 1952 ini dikenal banyak kiprahnya dalam pembangunan Surabaya setelah masa kemerdekaan.
Sejarawan Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, Surabaya sempat hancur lebur karena perang kemerdekaan. Kemudian terjadi krisis di Surabaya sehingga membuat warga kesulitan mencari sembako dan bahan sandang. Saat itu, peran Wali Kota Moestadjab mampu mengatasi krisis tersebut.
"Terkenal karena mampu membenahi krisis terutama ekonomi di Surabaya sejak ia menjabat tahun 1952," ujar Adrian saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Sabtu (4/9/2020).
Baca Juga
Advertisement
Adrian menuturkan, Moestajab mampu menghadapi krisis tersebut dengan membenahi manajemen pemerintahan sehingga bisa mengatasi krisis.
"Hubungan dengan pemerintah pusat yang efektif. Dengan anggaran yang diberikan pemerintah pusat, Moestajab tidak hanya mampu memulihkan perekonomian Surabaya dari krisis tapi juga melakukan banyak pembangunan," kata dia.
Moestajab menjabat sebagai Wali Kota Surabaya pada 1952-1956. Sebelum menjadi Wali Kota Surabaya, ia sempat menjadi Bupati Jombang pada 1949-1950.
Penulis buku Surabaya Punya Cerita, Dhana Adi mengatakan, Moestadjab menjabat sebagai wali kota saat Indonesia dihadapkan setelah agresi militer 1 dan 2, serta KMB.
"Ia menjabat ketika Indonesia baru merdeka 7 tahun, setelah carut marut penyerangan Belanda. Beliau yang punya semacam fondasi pembangunan Surabaya mau dibawa kemana," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Bangun Infrastruktur hingga Ekonomi Surabaya
Dhana menilai, Moestadjab mampu membangun Surabaya secara perlahan-lahan mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, kesenian, olahraga hingga ekonomi.
Ia mengatakan, Moestadjab mempertimbangkan kepentingan masyarakat untuk membangun Surabaya sehingga melibatkan semua pihak. Hal ini agar masyarakat memiliki keterikatan terhadap Surabaya, kota yang ditinggalinya.
"Di Era Kolonial ada Kampung Melayu, Kampung Arab. Pak Moestadjab menata sedemikian rupa kampung-kampung dengan membenahi jalur sanitasi,” kata dia.
"Moestajab membangun kota seimbang secara manusiawi, berbudaya, berkesenian, metropolis melampaui zamannya,” tutur dia.
Dhana mengatakan, Moestadjab yang lahir pada 8 April 1909 ini tahu apa yang akan dilakukan untuk membangun Kota Pahlawan. Salah satunya, menata permukiman,membangun lahan untuk tempat tinggal rakyat dan infrastruktur jalan.
"Jangan sampai proyek baru saling bertabrakan. Sehingga dalam maklumat, kalau ada ruang kosong diberi tanda, dipagari, sehingga tahu tanah warga dan pemerintah,” ia menambahkan.
Dalam sektor pendidikan, Moestadjab turut berperan membangun Universitas Airlangga. Adrian menuturkan, melalui lobi Moestajab, pemerintah pusat akhirnya mendirikan perguruan tinggi negeri di Surabaya yaitu Universitas Airlangga (Unair) pada 1954. Moestajab bersama Presiden RI Ir Sukarno pun meresmikan Universitas Airlangga.
Dhahana mengatakan, Moestajab ditunjuk sebagai Dewan Presidium Universitas Airlangga (Unair). Kemudian, Moestadjab membentuk rektorat dan dekanat.
Selain menata permukiman warga dan berkiprah membangun sektor pendidikan di Surabaya, Moestajab juga berperan membangun peremajaan Lapangan Tambaksari, Pekan Raya Surabaya dan Tugu Pahlawan. Moestadjab yang merealisasikan tugas dari Presiden Sukarno untuk membangun monumen Tugu Pahlawan.
Bersambung
Advertisement