Liputan6.com, Jakarta - Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengatakan ada lima provinsi yang warganya paling tidak percaya dengan wabah Covid-19. Kelima provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Mereka beranggapan dirinya tidak akan terjangkit virus Corona. Hal ini Doni ungkapkan saat rapat dengan Komisi VIII DPR RI, Kamis (3/9/2020).
Oleh karena itu, Satgas Covid-19 akan mengambil langkah mitigasi yang melibatkan pakar di bidang sosiologi, antropologi dan psikolog untuk menyasar lima daerah itu karena dianggap masih tidak percaya terhadap Covid-19 dan menganggap virus corona hanyalah konspirasi.
Advertisement
Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina menilai, masyarakat bukannya tidak percaya dengan wabah virus Corona itu sendiri, namun tidak percaya dengan imbauan pemerintah. Menurut Nia, masyarakat menganggap pemerintah kurang sungguh-sungguh dalam menangani Covid-19.
"Saya kira masyarakat bukan mengabaikan adanya Covid-19. Realitas yang berkembang dalam masyarakat yaitu minimnya kepercayaan masyarakat kepada himbauan pemerintah atau pengelola negara saat ini," ujar Nia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (4/9/2020).
Akibat dari penanganan Covid-19 yang kurang serius, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Angka pengangguran pun meningkat. Pada tahun 2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 5,28 persen dan pada tahun 2020, Bappenas memperkirakan TPT menyentuh 8,1 hingga 9,2 persen atau 10,7-12,7 juta orang.
Oleh karena itu, masyarakat cenderung mengutamakan berbagai cara untuk menyambung hidup dan menghiraukan protokol kesehatan.
"Penanganan yang kurang serius ini berdampak besar terutama di bidang ekonomi. Menurut beberapa studi, angka pengangguran mengalami peningkatan tajam selama Pandemi Covid-19 ini. Untuk itu masyarakat lebih mengutamakan memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, daripada himbauan pemerintah untuk mematuhi protokol," ujar Nia.
Selain itu, banyaknya ketetapan terkait penanganan Covid-19 yang diubah membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan pemerintah. Seperti yang diketahui, Pada 21 Juli lalu, pemerintah resmi mengganti istilah seputar Covid-19. Istilah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) diganti dengan 'kasus suspek'.
Ada juga 'kasus probable', yakni istilah untuk kasus suspek dengan ISPA berat atau meninggal dunia dengan diagnosis yang diyakini sebagai Covid-19. Selain itu, pemerintah juga mengganti istilah 'new normal' menjadi 'adaptasi kebiasaan baru'. Bukan hanya itu saja, pemerintah bahkan juga membubarkan gugus tugas dan menggantinya menjadi Satgas Covid-19. Juru bicaranya pun juga ikut diganti.
"Saya kira, faktor pembubaran gugus tugas dalam penanganan Covid-19 juga memicu semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah," ujar Nia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bukan Abai
Jadi menurutnya, penyebab masyarakat abai terhadap protokol kesehatan bukan karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Covid-19 rendah. Namun karena menganggap pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi permasalahan akibat Covid-19. Bahkan kata dia, masyarakat menilai pemerintah lebih memperhatikan dan mengedepankan Pilkada daripada penanganan virus Corona.
"Masyarakat menganggap pemerintah juga tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh Covid-19," ujarnya
"Masyarakat menilai pemerintah lebih mengedepankan Pilkada mendatang. Mereka lebih concern dalam mempertahankan kekuasaannya di pusaran elite mereka," tutupnya.
Reporter : Rifa Yusya Adilah
Sumber; Merdeka
Advertisement