Liputan6.com, Jakarta - Keuntungan asuransi Jiwasraya pada periode 2008 hingga awal 2018 ditegaskan tidak semu. Keuntungan Jiwasraya pada periode tersebut real atau nyata adanya.
Hal itu diungkapkan Kresna Hutauruk, Kuasa Hukum mantan Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Heru Hidayat dalam perkara Pidana Nomor: 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst.
Advertisement
Pernyataan Kresna ini menjawab dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang pernah menyebutkan keuntungan Jiwasraya pada periode 2008-2018 dalam laporan keuangannya semu. Dia menilai dakwaan JPU dinilai tidak tepat.
"Pada periode 2008-2018, pencatatan keuangan perusahaan asuransi Jiwasraya itu tidak semu dan laporan labanya untung," ujar Kresna melalui keterangan tertulis, Minggu (6/9/2020).
Bahkan, lanjut dia, asuransi Jiwasraya (PT AJS) pada periode itu tidak pernah gagal bayar klaim dan mampu membayarkan tantiem atau bonus prestasi kepada karyawan dan dividen kepada negara.
"Keuntungan Jiwasraya zaman direksi 2008-2018 tidak semu, karena setiap tahun tidak pernah gagal bayar klaim, direksi selalu dapat tantiem, pegawai dapat biaya jasa produksi, dan negara pernah mendapat dividen," ucap Kresna.
Kresna mengatakan hal itu pun telah diakui oleh Hary Prasetyo, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, yang dihadirkan sebagai saksi dalam lanjutan persidangan perkara tersebut, Jumat, 4 September 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Seluruh Biaya Dibayarkan Tunai
Dalam persidangan tersebut, Kresna menanyakan ihwal biaya asuransi yang meliputi beban gaji, tantiem, dan biaya produksi perseroan pada periode tersebut.
"Seluruh biaya itu dibayarkan secara tunai, termasuk gaji kepada sekitar 1.100 karyawan di PT Asuransi Jiwasraya," kata dia.
Seluruh bonus prestasi itu pun, lanjut Kresna, diberikan kepada karyawan lantaran PT Asuransi Jiwasraya mendapatkan keuntungan pada periode tersebut.
"Selama ini kan selalu dibilang Jiwasraya untungnya semu. konon katanya untungnya selalu semu, makanya saya tanya biaya asuransi itu apa? Apakah itu dibayarkan cash? Tantiem dibayarkan cash?," tanya Kresna.
Dalam persidangan itu, Hary Prasetyo mengakui hal tersebut. Dia mengatakan, bonus atas kinerja itu diberikan kepada karyawan didasarkan pada kondisi perusahaan yang meraup untung.
Syarat lainnya adalah pemberian tantiem mendapatkan persetujuan dari pemegang saham, yakni Kementerian BUMN.
"(Dasar pemberian bonus itu) tentunya perusahaan untung dan ditetapkan dalam RUPS [Rapat Umum Pemegang Saham], oleh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham," jawab Hary dalam persidangan.
Dia pun mengakui pembayaran bonus itu direalisasikan secara tunai. Lebih lanjut, Hary menuturkan, tantiem dan biaya produksi itu merupakan komponen dalam total biaya di PT AJS.
Pada periode itu, total pengeluaran untuk biaya PT AJS mencapai Rp 23 triliun, sebagaimana tertuang dalam berita acara perkara (BAP) Hary PRasetio.
"(Jadi, semua pengeluaran itu) Nyata," jawab Hary.
Advertisement
Dividen Untuk Negara
Dalam persidangan itu, Hendrisman Rahim, eks Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya yang juga dihadirkan sebagai saksi mengakui, BUMN itu pernah menyetorkan dividen kepada pemegang saham atau pemerintah melalui Kementerian BUMN.
Sejak ditunjuk menduduki posisi nomor satu di PT AJS pada 2008 hingga digantikan pada awal 2018, Hendrisman mengaku, PT Asuransi Jiwasraya pernah sekali membagikan dividen kepada pemegang saham.
"Satu kali. Tahun 2015. Ada deviden," jawabnya dalam persidangan ketika ditanya Aldres Napitupulu, Kuasa Hukum Joko Hartono Tirto dalam perkara yang sama.
Hendrisman mengatakan, dividen atau dana dari laba perusahaan itu disetorkan kepada negara dalam wujud uang sungguhan dan bukan uang semu.
Dia pun menampik pertanyaan Aldres bahwa dividen itu hanya tercatat dalam pembukuan atau laporan keuangan saja. Hendrisman menjelaskan, deviden itu bersumber dari laba perusahaan.
"(Deviden yang disetorkan) uang beneran," tegasnya.
Hary Prasetyo menambahkan bahwa seluruh laba perusahaan itu bersumber dari tata kelola aset atau merupakan hasil investasi.
Dia pun menegaskan bahwa laba perseroan itu sungguh merupakan uang yang diperoleh perusahaan dan bukan pencatatan semata.
"Kalau dana itu (laba yang menjadi sumber dividen) memang dari investasi. Dari keuangan. Dari hasil investasi," jawab Hary.