Liputan6.com, Jakarta - Kekalahan Paris Saint-Germain (PSG) di final Liga Champions 2019/2020 mengandaskan mimpi Prancis untuk kembali menguasai Eropa. Sejauh ini satu-satunya gelar dipersembahkan Olympique Marseille pada 1992/1993.
Rapor buruk klub Negeri Anggur di kompetisi utama antarklub Eropa sebenarnya bukan cerita aneh. Mereka jarang bicara banyak sejak kompetisi dimulai dengan nama Piala Champions.
Advertisement
Salah satu kisah menarik di balik kegagalan itu melibatkan Saint-Etienne. Ironinya, Les Verts dengan bangga mengenang peristiwa menyakitkan yang mereka alami.
Caranya dengan membeli tiang gawang Hampden Park untuk dipajang di museum klub. Saint-Etienne menyetor 20 ribu euro dari Museum Sepak Bola Skotlandia pada 2013 demi memilikinya.
Gawang itu dipakai di Hampden Park pada periode 1903 hingga 1987 sebelum dipensiunkan karena peraturan FIFA.
"Benda ini adalah simbol dari final 1976, laga yang menciptakan hubungan emosional antara masyarakat Prancis dan Saint-Etienne," kata Roland Romeyer, presiden klub ketika itu, dikutip BBC.
Saksikan Video Saint-Etienne Berikut Ini
Periode Emas Saint-Etienne
Prancis hanya bisa iri menyaksikan negara tetangga bangga atas prestasi memenangkan Piala Champions. Capaian terbaik atas nama mereka hanyalah masuk final 1956 dan 1959 melalui Stade Reims.
Sampai Saint-Etienne muncul dan jadi harapan terbesar pada 1970-an. Setelah jadi juara Prancis dua kali, mereka mengukuhkan dominasi dengan berkuasa empat musim beruntun pada 1967-1970.
Saint-Etienne kemudian sempat mengalami periode kekeringan. Sampai akhirnya keputusan presiden Roger Rocher menunjuk legenda klub Robert Herbin sebagai pelatih menjadi titik balik.
Perlahan Herbin mengembalikan kebesaran Saint-Etienne dengan mengombinasikan skuat. Pemain berpengalaman seperti Revelli bersaudara, Patrick dan Herve, serta kapten Jean-Michel Larque diminta mendidik talenta muda berbakat seperti Christian Sarramagna, Dominique Rocheteau, Christian Lopez, Gerard Janvion, dan Dominique Bathenay. Komposisi skuat ini berbuah gelar liga pada 1974-1976.
Perkasa di domestik, Herbin mulai memoles Saint-Etienne untuk bicara lebih banyak di Eropa. Kesan positif pertama muncul di musim 1974/1975. Mereka sukses membalikkan ketertinggalan 1-4 dari wakil Yugoslavia Hajduk Split dan unggul 5-1 pada babak kedua.
Saint-Etienne kembali melakukan comeback pada putaran selanjutnya melawan Ruch Chorzow asal Polandia. Tumbang 2-3 di partai pembuka, mereka lalu berjaya 2-0 demi mencapai semifinal.
Sayang Saint-Etienne terhenti di sana. Les Verts mesti mengakui keunggulan juara bertahan Bayern Munchen dengan agregat 0-2.
Advertisement
Petaka Gawang Persegi
Merasa bisa bersaing melawan tim-tim lain dari Eropa, Saint-Etienne lebih percaya diri di musim berikutnya. KB (Denmark), Rangers (Skotlandia), Dynamo Kyiv (Uni Soviet), dan PSV Einhoven (Belanda) berturut-turut ditaklukan dalam perjalanan mencapai final.
Musul lama menanti. Saint-Etienne menghadapi Bayern Munchen yang coba mencetak hattrick di Hampden Park. Franz Beckenbauer, Gerd Muller, Sepp Maier, dan Franz Roth mungkin sudah melewati usia emas. Namun, itu tidak mengurangi ambisi mereka mencari prestasi terakhir di ambang karier.
Final pun mempertemukan dua kubu. Bayern Munchen bermodal reputasi, pengalaman, dan fisik. Sementara Saint-Etienne memiliki kecepatan dengan strategi serangan balik, permainan sayap, dan umpan kilat.
Gol Muller dianulir karena offside. Saint-Etienne membalas melalui tendangan jarak jauh Bathenay. Sayang tendangannya mengenai mistar.
Nasib sial Saint-Etienne berlanjut tidak lama berselang. Tandukan Jacques Santini meneruskan umpan silang juga menerpa mistar gawang.
Bayern Munchen tersentak. Mereka tahu sudah dinaungi keberuntungan dan coba memaksimalkannya. Hasilnya adalah gol Franz Roth melalui tendangan bebas tidak langsung.
Setelahnya Saint-Etienne menekan dan beberapa kali mendapat peluang. Namun gol penyama kedudukan dan waktu pertandingan habis.
Pasukan Herbin hanya bisa menangis dan meratap nasib. Belakangan mereka menyesalkan bentuk gawang di Hampden Park yang masih berbetuk persegi, belum bundar seperti kebanyakan stadion lain. Jika gawang bundar, pemain dan suporter Les Verts yakin bola hasil tendangan Bathenay dan tandukan Santini bakal memantul masuk gawang.
Uniknya, meski takluk, publik Prancis menyambut Saint-Etienne sebagai pahlawan. Mereka mengarak tim di Champs-Elysees, Paris.
Sempat Berstatus Klub Yo-yo
Saint-Etienne kembali mencoba peruntungan semusim berselang. Sayang mereka sudah dipasangkan dengan Liverpool di perempat final. Les Verts akhirnya tumbang agregat 2-3 di hadapan The Reds yang kemudian jadi juara.
Setelah itu Saint-Etienne kesulitan mempertahankan masa keemasan. Mereka hanya bisa sekali menjadi juara pada 1981 mengandalkan pemuda Michel Platini. Dalam dua tahun kemudian, Platini pergi ke Juventus dan Herbin hengkang ke rival domestik Olympique Lyon. Sementara Rocher terkena skandal suap dan masuk penjara.
Saint-Etienne akhirnya terdegradasi pada 1984. Mereka lalu menjadi klub yo-yo dan turun naik ke kasta tertinggi, sebelum mulai stabil di abad ke-21. Namun, periode emas masa silam sulit diulang. Semua gara-gara gawang persegi.
Advertisement