Kecewa, Sedih hingga Perceraian Sering Terjadi pada Orangtua dengan Anak Tunanetra

Dalam fase tumbuh kembang anak, orangtua memiliki peran penting untuk mengelola emosi agar tidak berpengaruh buruk pada perkembangan sosial anak.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 11 Sep 2020, 10:00 WIB
Ilustrasi Mata. Foto: Ade Nasihudin (9/9/2020).

Liputan6.com, Jakarta Disabilitas netra pada anak dapat memengaruhi perkembangan sosialnya. Dalam fase tumbuh kembang anak, orangtua memiliki peran penting untuk mengelola emosi agar tidak berpengaruh buruk pada perkembangan sosial anak.

Dalam penelitian Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Keterampilan Sosial Anak yang ditulis peneliti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Didi Tarsidi, perlakuan orangtua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu.

Didi mengutip buku Krech, Crutchfield & Ballachey (1982) yang menjelaskan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan.

“Tunanetra yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orangtuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, mungkin malu, dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian,” tulis Didi dalam penelitiannya.

Masalah seperti ini acap kali terjadi pada keluarga yang memiliki anak difabel. Umumnya, orangtua akan mengalami masa sedih dalam tiga tahap yaitu tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan.

Tahapan ini akan memengaruhi hubungan antara ketiganya (ibu, ayah, anak) dan pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.

Simak Video Berikut Ini:


Faktor Pengganggu Ikatan Batin Orangtua dan Anak Tunanetra

Didi juga mengutip Stone (1999) yang mengemukakan faktor-faktor yang dapat mengganggu perkembangan alami ikatan batin antara orangtua dengan bayi tunanetra.

Faktor-faktor tersebut antara lain, tidak adanya kontak mata antara orang tua dan bayinya, kurangnya kontak fisik antara orangtua dan anak pada masa awal kehidupan anak (terutama jika anak lahir prematur) karena anak harus dirawat di rumah sakit.

Orangtua merasa bersalah karena mereka merasa bertanggung jawab atas disabilitas anaknya, perasaan trauma karena orangtua harus menghadapi reaksi dari orang-orang di sekitarnya.

Faktor lainnya, perasaan tertekan dan cemas karena orangtua tidak tahu bagaimana cara memperlakukan dan mengasuh anaknya itu. Bila tidak memperoleh intervensi yang tepat, Stone mengemukakan bahwa semua hambatan tersebut dapat mempersulit orang tua untuk mengembangkan ikatan batin yang erat dengan anak.

Pada akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan bayi tunanetra itu untuk mencapai perkembangan afektif tahap awal, yaitu terbinanya human attachment (kelekatan dengan orang lain).

Jika anak tidak memiliki pengalaman interaksi yang erat dengan orang lain, perasaan keamanan pribadinya dalam berhubungan dengan orang lain dan akhirnya dengan dunia akan berkurang.

“Hubungan erat yang penuh kasih sayang dengan orangtua dan saudara-saudaranya merupakan setting sosio-emosional mendasar bagi perkembangan perilaku afektif yang positif pada anak yang menyandang tunanetra.”


Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya