Sri Mulyani: 2019 jadi Tahun Paling Lemah bagi Pemulihan Ekonomi Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebuir 2019 menjadi tahun yang paling lemah dalam pemulihan ekonomi global dibanding tahun 2008-2009.

oleh Tira Santia diperbarui 09 Sep 2020, 11:40 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2020). Rapat di antaranya membahas perkembangan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 merupakan tahun yang paling lemah dalam pemulihan ekonomi global dibanding tahun 2008-2009.

“Seperti diketahui tahun 2019 telah ditutup dan dalam hal ini sudah dipertanggungjawabkan dalam proses perundangan merupakan tahun yang tidak mudah, sebetulnya tahun 2019 itu adalah tahun yang paling lemah dalam pemulihan ekonomi global sesudah global finance krisis tahun 2008-2009  kondisi pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2008-2009,”kata Sri dalam video conference Raker Komite IV DPD RI membahas RUU Pelaksanaan APBN 2019 dan RAPBN 2021, Rabu (9/9/2020).

Oleh karena itu, Pemerintah sebelumnya optimis tahun 2020 akan memasuki masa pemulihan dari kondisi terlemah tahun 2019, namun nyatanya tahun 2020 dihadapkan dengan ketidakpastian dampak pandemi covid-19.

Lanjutnya, ia memaparkan alasan yang menyebabkan tahun 2019 sebagai tahun terlemah pertumbuhan ekonominya, sebab yang terjadi di tahun 2019 adanya policy-policy yang dilakukan oleh negara dengan ekonomi terbesar di dunia yaitu Amerika Serikat.

 Mulai dari kebijakan moneter yang menaikkan suku bunga maupun kebijakan perdagangan nya yaitu, dalam hal meningkatkan tekanan kepada semua negara mitra dagang yang memiliki surplus terutama RRI, dan juga dari sisi kebijakan militer security-nya yang menciptakan eskalasi politik ketegangan di seluruh dunia.

 “Ini menimbulkan tekanan yang luar biasa beberapa negara mengalami pertumbuhan ekonomi, tentu dalam hal ini menciptakan juga imbasnya kepada perekonomian Indonesia yaitu dalam bentuk ekspor yang mengalami perlemahan karena global ekonomi yang mengalami pelemahan,” jelas Sri Mulyani.

Namun dalam suasana ketidakpastian di tahun 2019, Sri mengatakan Indonesia masih bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang bertahan di atas 5 persen meskipun ini lebih rendah dari tahun 2018 yakni 5,17 persen.

“Tapi kita tetap bertahan di atas 5 persen dan dalam hal ini produk domestik bruto kita telah mencapai angka Rp 15.833,9 Triliun, meningkat dari tahun 2018 yang  Rp 14.838,3 triliun, inflasi juga tetap kita jaga pada level di bawah 3 persen yaitu 2,72 persen,” ujarnya.

Kemudian tingkat pengangguran Indonesia mengalami penurunan di 5,28 persen, ini adalah tingkat pengangguran terendah dalam 5 tahun terakhir, lalu dari sisi indeks pembangunan manusia Indonesia mengalami peningkatan di 71, 92 dibanding tahun 2018 hanya 71,39.

Sementara untuk nilai tukar sendiri terjaga stabil di angka Rp 14.146 per USD, dan persentase penduduk miskin terus mengalami penurunan di angka 9,22 persen.

“Ini adalah angka persentase penduduk miskin terendah di dalam sejarah republik Indonesia itu sendiri, dan Sisi gini rasio juga mengalami perbaikan yaitu 0,380 (2019) dari 0,384 (2018),”pungkasnya.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Resesi Bukan Berarti Ekonomi dalam Kondisi Sangat Buruk

Menteri Keuangan Sri Mulyani ditemani Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi (kiri) mengunjungi Pusat Logistik Berikat (PLB) Dunia Express, Sunter, Jakarta, Jumat (4/10/2019). Sebelumnya, Sri Mulyani mengaku mendapat keluhan Presiden Jokowi terkait banjir impor tekstil. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 sebesar 0 persen hingga -2 persen. Apabila nantinya ekonomi tercatat negatif maka secara teknik Indonesia masuk zona resesi. Meski demikian, hal ini bukan sesuatu yang sangat buruk.

"Kalau kita lihat aktivitas masyarakat sama sekali belum normal. Oleh karena itu, kalau secara teknik nanti kuartal III ada di zona negatif maka resesi itu terjadi. Namun itu tidak berarti bahwa kondisinya adalah sangat buruk," ujar Sri Mulyani usai rapat kerja dengan DPR, Jakarta, Senin (7/9/2020).

Sri Mulyani melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibanding negara-negara lainnya yang mengalami kontraksi ekonomi hingga negatif 20 persen. Bahkan negara-negara tersebut sudah lebih dulu memasuki zona resesi dibandingkan dengan Indonesia.

"Karena kalau kita lihat, kontraksinya lebih kecil dan menunjukkan adanya pemulihan dibidang konsumsi, investasi melalui dukungan dan belanja pemerintah akselerasi cepat. Dan kita juga berharap ekspor sudah mulai baik, kita lihat satu bulan atau beberapa bulan terakhir terjadi kenaikan yang cukup baik," paparnya.

"Dibandingkan negara lain yang kontraksinya sangat dalam, kita sebetulnya dalam posisi yang relatif lebih baik karena kita di 5,3 persen itu dibandingkan dengan negara yang kontraksinya mencapai negatif 17 hingga negatif 20 persen, itu sangat dalam," sambungnya

Pemerintah tetap berupaya dengan segala cara untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi Virus Corona. Seluruh mesin pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi, investasi dan ekspor terus didorong agar mampu mendongkrak ekonomi di kuartal III tahun ini.

"Jadi kita tetap berusaha, akselerasi seluruh belanja pemerintah dan program ekonomi akan terus dilaksanakan sehingga konsumsi masyarakat secara bertahap pulih dan investasi secara bertahap pulih. Ekspor juga mulai didorong. Maka mesin pertumbuhan di antara konsumsi, investasi dan ekspor dan pemerintah pertumbuhan kuartal III akan lebih baik," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya