Donald Trump Didesak Selidiki Kasus Pemimpin Oposisi Rusia Alexei Navalny Diracun

Alexei Navalny, lawan utama Presiden Vladimir Putin, jatuh sakit pada 20 Agustus dalam penerbangan domestik di Rusia.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Sep 2020, 08:03 WIB
Dalam file foto pada Minggu, 24 Februari 2019 ini, pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny ikut serta dalam pawai untuk mengenang pemimpin oposisi Boris Nemtsov di Moskow, Rusia.(Photo credit: AP Photo/Pavel Golovkin, File)

Liputan6.com, Moskow - Penyelidikan kasus peracunan pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny terus menjadi sorotan. Para pemimpin Demokrat dan Republik di Komite Urusan Luar Negeri DPR Amerika telah meminta Presiden Donald Trump untuk menyelidiki kasus ini.

Dalam surat bipartisan yang dikirim kepada Presiden Trump pada Senin (7/9), anggota DPR Eliot Engel, ketua komite Luar Negeri dari fraksi Demokrat (New York), dan anggota komite dari fraksi Republik (Texas) Michael McCaul, mendesak pemerintahan Trump untuk melancarkan penyelidikan atas serangan tersebut, dengan mengatakan sanksi terhadap Moskow, mungkin diperlukan.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (10/9/2020) Alexei Navalny, lawan utama Presiden Vladimir Putin, jatuh sakit pada 20 Agustus dalam penerbangan domestik di Rusia.

Dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Jerman untuk perawatan. Pemerintah Jerman mengatakan pada 2 September bahwa hasil toksikologi menunjukkan pria berusia 44 tahun itu diracuni dengan agen saraf Novichok yang digunakan sejak era Uni Soviet.

Kecurigaan seputar peracunan itu dengan cepat meningkat terhadap pemerintah Rusia, yang telah menggunakan metode serupa terhadap para kritikus negara itu pada masa lalu. Baru-baru ini, Kremlin diketahui menggunakan senjata kimia yang sama terhadap seorang mantan mata-mata Soviet di Inggris pada 2018.

Kremlin membantah terlibat dalam peracunan itu dan menolak tuduhan telah melakukan kejahatan, serta mengatakan tidak ada bukti yang mendukung penyelidikan kriminal menyeluruh atas kasus tersebut.

Pada Selasa 8 September, perwakilan G-7 mengutuk "peracunan yang telah dikukuhkan" terhadap Alexei Navalny, menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika.

 

Simak video pilihan berikut:


Kantor HAM PBB: Kasus Peracunan Navalny Kejahatan Serius

Pemimpin Oposisi Rusia, Alexei Navalny dilarikan ke rumah sakit Siberia pada Kamis (20/8/2020) dan dalam keadaan koma setelah diduga mengalami keracunan di pesawat. (AP Photo / Pavel Golovkin, File)

Kepala Kantor Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menyerukan pemerintah Rusia untuk melakukan, atau bekerja sama dalam penyelidikan independen atas kasus peracunan pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny.

Juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville menjelaskan tindakan meracuni itu sebagai ''kejahatan serius yang dilakukan di dalam negeri Rusia''.

“Itu adalah kewajiban otoritas Rusia untuk menyelidiki sepenuhnya siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan ini, kejahatan sangat serius yang terjadi di dalam negeri Rusia dan untuk menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya termasuk Navalny,” kata Colville.

Navalny yang dikenal sebagai pengkritik tajam Presiden Rusia Vladimir Putin, diterbangkan ke Jerman bulan lalu, setelah jatuh sakit pada 20 Agustus dalam penerbangan domestik di Rusia.

Pakar senjata kimia Jerman mengatakan, hasil pemeriksaan menunjukkan Navalny, yang berusia 44 tahun, diracun dengan agen saraf era Soviet, Novichok. Hasil tes ini mendorong pemerintah Jerman menuntut Rusia untuk menyelidiki kasus itu pekan lalu.

Juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Rupert Colville menambahkan, “Tidak cukup hanya menyangkal bahwa ia diracun, dan menolak perlunya penyelidikan yang menyeluruh, independen, tidak memihak dan transparan terhadap upaya (percobaan) pembunuhan ini.”

Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM, Michelle Bachelet menyambut baik kondisi Navalny yang sadar dari koma di rumah sakit Berlin, kata juru bicara Rupert Colville, hari Senin (8/9).

“Alexei Navalny jelas membutuhkan perlindungan negara, meskipun ia adalah duri dalam politik bagi pihak pemerintah," kata Bachelet melalui juru bicaranya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya