Liputan6.com, Jakarta - Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2019 yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan Syariah sebesar 11,94 persen (yoy) menjadi Rp 425,29 triliun. Angka ini tumbuh tipis dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 11,4 persen (yoy).
Perkembangan pertumbuhan DPK terjadi pada Bank Umum Syariah (BUS) yang tumbuh 12,18 persen atau Rp 288,98 triliun. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 8,06 persen.
Advertisement
Namun terjadi perlambatan pertumbuhan DPK dari Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Di UUS mengalami perlambatan 11,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 18,37 persen. Sehingga DPK dari UUS tahun 2019 sebesar Rp 127,58 triliun.
Di BPRS terjadi perlambatan 7,34 persen di tahun 2019 sehingga DPK yang dihimpun hanya Rp 9,94 triliun. Padahal tahun 2018 pertumbuhannya mencapai 16,43 persen.
Dari data tersebut, BUS tetap mendominasi komposisi DPK dengan porsi sebesar 67,95 persen. Sementara porsi DPK UUS sebesar 20 persen dan BPRS sebesar 2,05 persen.
Perlambatan juga terjadi pada deposito yang memiliki porsi terbesar 54,48 persen dengan tumbuh 5,59 persen (yoy). Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 9,12 persen (yoy).
Perlambatan pertumbuhan DPK tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan DPK Bank Umum Konvensional. Selain itu juga terjadi capital outflow seiring dengan Fed Fund Rate dan Crowding out effect karena adanya pengalihan dana masyarakat ke instrumen investasi lainnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK dan LPS Perbarui Kerja Sama Penanganan Bank Sakit
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperbarui kesepakatan kerja sama untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pembaruan ini untuk memperlancar koordinasi guna menjaga stabilitas sistem keuangan keuangan, terutama permasalahan perbankan.
Kedua lembaga tersebut telah menandatangani kesepahaman pada pertengahan bulan Agustus lalu. MoU ini merupakan tindak lanjut atas UU Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu 1/2020, Peraturan Pemerintah Nomor 33/2020 dan Peraturan LPS Nomor 3/2020.
"Nota Kesepahaman baru antara OJK dan LPS telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah pada pertengahan Agustus 2020 lalu, di Jakarta," kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK, Anto Prabowo, dalam siaran persnya, Jakarta, Selasa (8/9).
Kesepahaman ini menjadi pedoman mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dan LPS. Antara lain dalam pertukaran data dan atau informasi, pemeriksaan bank, dan pelaksanaan penjaminan simpanan.
Lalu penanganan bank dengan status Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) maupun Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK). Termasuk penanganan bank yang tidak dapat disehatkan dan penempatan dana LPS pada bank selama pemulihan ekonomi akibat dari pandemi Covid-19.
Ruang lingkup kesepahaman OJK dan LPS ini juga dilakukan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan penjaminan simpanan dan pengawasan terhadap bank, tindak lanjut hasil pengawasan dan analisis bank, serta penanganan bank sistemik dan nonsistemik.
Lalu penanganan bank yang dicabut izin usahanya, penanganan bank yang membahayakan perekonomian dan pendirian bank perantara. Kemudian penanganan bank yang merupakan emiten atau perusahaan publik.
"Dengan berlakunya Nota Kesepahaman yang baru ini, maka Nota Kesepahaman OJK dan LPS yang lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," kata Anto mengakhiri.
Advertisement