Liputan6.com, Jakarta Membangun interaksi dan hubungan sosial adalah tantangan besar bagi sebagian anak dengan disabilitas netra. Terkait dengan tunanetra, ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi anak dalam membangun kehidupan sosialnya.
Menurut peneliti dari Universitas Pendidikan Indonesia Didi Tarsidi, anak dengan disabilitas netra cenderung lebih suka bermain di dalam ruangan ketimbang di luar. Mereka menghindari tempat terbuka yang luas terutama yang tidak memiliki tanda jalan atau guiding block sebagai tanda rujukan.
Advertisement
Hal ini dapat mempersempit gerak anak dalam berinteraksi sosial. Faktor lainnya adalah densitas sosial, yaitu jumlah anak di tempat tertentu. Semakin banyak anak di tempat itu, semakin banyak kesempatan yang tersedia untuk interaksi sosial.
“Akan tetapi, McGaha dan Farran menemukan bahwa anak tunanetra lebih menyukai tempat dengan densitas sosial yang rendah. Hal ini dapat dipahami karena semakin tinggi densitas sosial akan semakin tinggi pula tingkat kebisingannya, sehingga isyarat-isyarat auditer yang diterimanya pun menjadi lebih kompleks dan membutuhkan konsentrasi ekstra untuk menyaringnya,” tulis Didi dalam penelitiannya, dikutip pada Sabtu (12/9/2020).
Bagi tunanetra, indera pendengaran merupakan substitusi utama untuk indera penglihatan. Oleh karena itu, untuk dapat diterima oleh kelompok sosialnya, anak tunanetra membutuhkan bantuan khusus untuk mengatasi kesulitannya dalam memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk menunjukkan ekspresi wajah yang tepat, menggelengkan kepala, melambaikan tangan, atau bentuk-bentuk bahasa tubuh lainnya.
Simak Video Berikut Ini:
Pentingnya Bahasa Tubuh
Bahasa tubuh adalah postur atau gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan mata yang mengandung makna pesan. Bahasa tubuh merupakan sarana komunikasi yang penting untuk melengkapi bahasa lisan di dalam komunikasi sosial.
“Menurut istilah yang dipergunakan oleh Jandt (Supriadi, 2001), ini merupakan bahasa non-verbal kinesics. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai dengan bahasa tubuh kawan-kawannya, maka sosialisasinya dapat terganggu.”
Bahasa tubuh, dapat menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru memperlancarnya bila dipahami dengan baik. Bahasa tubuh yang luwes, yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku sebagaimana yang dapat diamati pada anak non-tunanetra pada umumnya, sangat kontras dengan bahasa tubuh yang terkadang sangat kaku yang dapat diamati pada banyak anak tunanetra.
Tiga ekspresi bahasa nonverbal lainnya yang diidentifikasi oleh Jandt, yaitu proxemics (jarak berkomunikasi), haptics (sentuhan fisik), serta cara berpakaian dan berpenampilan, juga memerlukan cara yang berbeda bagi anak tunanetra untuk mempelajarinya.
“Bila kita menghendaki agar anak tunanetra diterima dengan baik di dalam pergaulan sosial di masyarakat luas, mengajari mereka menggunakan bahasa nonverbal merupakan suatu keharusan.”
Mengajarkan keterampilan sosial (termasuk di dalamnya penggunaan bahasa nonverbal) kepada anak tunanetra dapat merupakan tugas yang sangat menantang karena keterampilan tersebut secara tradisi dipelajari melalui modeling dan umpan balik menggunakan penglihatan.
Bahasa nonverbal, yang pada umumnya diperoleh anak non tunanetra secara insidental melalui proses modeling, harus diajarkan secara sistematis kepada anak yang tunanetra. Akan tetapi, sejumlah peneliti telah berhasil dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada anak tunanetra melalui prinsip-prinsip behavioristic atau dengan membiasakannya menggunakan bahasa tubuh dalam kesehariannya.
Advertisement