Hampir Rampung, Pembahasan RUU Cipta Kerja Capai 90 Persen

Pembahasan rancangan undang-undang Cipta Kerja atau RUU Ciptaker kini sudah mencapai 90 persen atau hampir selesai dikaji.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 15 Sep 2020, 12:10 WIB
Pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, Rabu (12/2/2020). (Merdeka.com/ Ahda Baihaqi)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pembahasan rancangan undang-undang Cipta Kerja atau RUU Ciptaker kini sudah mencapai 90 persen atau hampir selesai dikaji.

"Sampai sekarang kami sudah melakukan pembahasan, submit-nya sudah mencapai sekitar 90 persen yang dibahas," kata Airlangga dalam sesi teleconference, Selasa (15/9/2020).

Menurut dia, mayoritas klasterisasi strategis dari ranah-ranah yang masuk ke dalam draft pembahasan regulasi cipta lapangan kerja tersebut saat ini sudah hampir 100 persen.

"Hampir seluruh klaster strategis (telah rampung). Apakah itu terkait dengan klaster ketenagakerjaan, klaster kepastian hukum, klaster UMKM dan koperasi," kata dia.

Airlangga menegaskan, hampir seluruh pembahasan mengenai klaster dalam RUU Cipta Kerja tersebut telah mendapat persetujuan konsensus dengan pihak partai politik.

Sehingga, ia melanjutkan, saat ini tinggal menuju ke tahap finalisasi, guna melakukan harmonisasi DNA sinkronisasi terhadap pasal-pasal yang dianggap krusial.

"Tinggal sekarang melakukan finalisasi daripada legal drafting, atau sering kita bahas sebagai harmonisasi pasal-pasal krusial dan juga melakukan sinkronisasi serta perumusan," ujar Airlangga.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


RUU Cipta Kerja Diminta Kecualikan UMKM Penuhi UMR

Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) melakukan unjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro S Wongkeran mengusulkan RUU Cipta Kerja mengecualikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atas kewajiban memenuhi ketentuan upah minimum regional (UMR). Menyusul kondisi sulit yang dialami mayoritas pelaku usaha disektor tersebut akibat pandemi Covid-19.

"Ketentuan upah minimum susah sekali bagi UMKM. Itu mereka sebenarnya pekerja keluarga umumnya, walau mereka mendapat upah. Tapi usaha mereka terbatas sekali di pandemi ini," ujar dia dalam webinar bertajuk 'Kebijakan RUU Cipta Kerja Dalam Perspektif Teori Ekonomi', Jumat (11/10/2020).

Menurutnya di tengah krisis akibat kedaruratan kesehatan ini regulasi seharusnya lebih ramah terhadap UMKM. Sebab selama ini UMKM dianggap menjadi bagian penting dari perekonomian nasional. Karena merupakan penyumbang terbesar lapangan kerja secara nasional.

"Dimana serapannya mencapai 97 persen dari total angkatan kerja yang ada. Artinya begitu banyak tenaga kerja yang dihasilkan dibandingkan usaha besar," imbuh dia.

Untuk itu, dia mendorong Pemerintah bersama stakeholder terkait lebih peka dalam menyikapi kondisi sulit yang dialami oleh pelaku UMKM. Yakni dengan mengecualikan ketentuan aturan UMR yang menyasar sektor usaha tersebut.

Selain itu, diharapkan cakupan jaring pengaman sosial bagi pelaku UMKM yang terdampak pandemi Covid-19 juga diperluas. Imbasnya kelangsungan usaha UMKM dapat terjaga dengan baik disituasi yang tidak pasti ini.

"Apalagi spirit dari RUU Cipta Kerja ialah penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan pengembangan UMKM dalam negeri. Maka RUU ini perlu memandang tentang bagaimana caranya terhadap pemberdayaan UMKM," tegasnya. 


RUU Cipta Kerja Dinilai Jadi Senjata Ampuh Kurangi Pengangguran

Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro S Wongkeran mengatakan RUU Cipta Kerja dapat menyelesaikan permasalahan terkait lonjakan pengangguran. Sebab RUU kontroversial ini diyakini mempunyai kemampuan hebat untuk menciptakan lapangan kerja dalam skala besar sebagai solusi menekan angka pengangguran.

Dia mencatat pada Februari 2020, total jumlah angkatan pekerja di Indonesia mencapai 138 juta jiwa. Sementara jumlah pekerja yang berhasil terserap mencapai 132 juta jiwa. Alhasil jumlah pengangguran mencapai 6 juta jiwa.

Kemudian, diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang memukul hebat dunia usaha dalam negeri. Sehingga Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan angka pengangguran baru mencapai 3,6 juta jiwa.

"RUU Cipta Kerja bertujuan mengatasi permasalahan kependudukan kita. Yang kemudian semakin diperparah oleh pandemi Covid-19. Sehingga ini akan menjadi solusi baik, karena berfokus pada penciptaan lapangan kerja untuk menyerap jumlah pekerja yang tinggi," ujar dia dalam webinar bertajuk 'Kebijakan RUU Cipta Kerja Dalam Perspektif Teori Ekonomi', Jumat (11/9/2020).

Tak hanya itu, Turro juga menyebut RUU Cipta Kerja dapat menjadi solusi mengantisipasi bonus demografi yang di alami Indonesia pada tahun 2020 sampai 2030 nanti. Mengingat bonus demografi ini bisa menjadi peluang atau ancaman.

"67 persen penduduk kita berada di usia produktif. Sehingga melalui RUU Cipta Kerja penduduk usia produktif ini harus terserap lapangan pekerjaan. Kalau tidak ini ini akna menjadi bencana demografi," tegasnya.

Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah untuk merangkul seluruh pihak terkait agar mau duduk bersama dan lebih detail dalam mensosialisasikan RUU Cipta Kerja. Imbasnya polemik penolakan akan pengesahan RUU anyar ini diharapkan dapat diminimalisir

"Karena kondisi Kependudukan seyogyanya, memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Terlebih periode tersebut jumlah dan proporsi penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan periode lainnya," tukasnya.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya