Wakil Ketua MPR: Perlu Kajian Mendalam dan Komprehensif Untuk Amandemen UUD

MPR periode 2014 - 2019 merekomendasikan kepada MPR periode 2019 - 2024. Salah satu rekomendasi melakukan kajian lebih mendalam wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dihidupkannya kembali GBHN.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2020, 15:03 WIB
Wakil Ketua MPR Sjarif Hasan (Foto:MPR)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan berharap MPR periode 2019 - 2024 bisa menyelesaikan amanah rekomendasi dari MPR periode 2014 - 2019 khususnya terkait dengan rekomendasi tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sehingga pada akhir masa jabatan MPR 2019 - 2024, sudah ada GBHN.

"Kita masih mengkaji lebih mendalam lagi. Kita harapkan rekomendasi tentang haluan negara bisa diselesaikan pada MPR periode ini (2019 - 2024)," kata Sjarifuddin Hasan dihadapan guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) di Ruangan Executif Lounge Unpad, Bandung, Jawa Barat, Senin (14/9/2020).

MPR bersama Dewan Profesor Unpad menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali GBHN".

Hadir dalam FGD, Rektor Unpad Prof Dr Rina Indiastuti dan Ketua Dewan Profesor Unpad Prof Dr Sutyastie Soemitro Remi. Sedangkan pemateri FGD adalah Prof Muradi, Prof Susi Dwi Harjanti, dan Prof Dr Nandang Alamsah Delianoor. FGD diikuti sejumlah guru besar secara virtual.

Syarief Hasan, sapaan Sjarifuddin Hasan, mengungkapkan MPR periode 2014 - 2019 merekomendasikan kepada MPR periode 2019 - 2024. Salah satu rekomendasi mengkaji lebih mendalam tentang amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dihidupkannya kembali GBHN. Rekomendasi lainnya adalah tentang penataan lembaga negara, penataan kewenangan DPD, dan kewenangan kehakiman. "Rekomendasi itu hasil dari serap aspirasi di masyarakat. Yang paling banyak menarik perhatian adalah soal dihidupkannya kembali GBHN," ujarnya.

Syarief Hasan mengungkapkan lagi Pimpinan MPR telah melakukan rapat pleno membahas rekomendasi MPR periode 2014 - 2019. "Kita sepakat untuk tidak terburu-buru melakukan perubahan UUD meskipun terbuka peluang melakukan perubahan UUD seperti diatur dalam UUD seperti diusulkan sepertiga anggota MPR," jelasnya.

Pimpinan MPR, lanjut Syarief Hasan, memutuskan bahwa untuk melakukan perubahan UUD perlu dilakukan kajian mendalam secara komprehensif. "Pimpinan MPR berkewajiban mendengarkan aspirasi masyarakat dari semua stakeholder. Saya memilih fokus menyerap aspirasi dan pandangan dari kalangan intelektual perguruan tinggi," ujar politisi Partai Demokrat ini.

Dari aspirasi masyarakat, Syarief Hasan menyebutkan masyarakat hampir dipastikan menginginkan GBHN atau dikenal dengan haluan negara. "Alasannya perlu kesinambungan dan sinergitas pusat dan daerah dalam pembangunan. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui arah pembangunan Indonesia menyangkut Indonesia Emas. Alasan inilah yang mendorong masyarakat menginginkan dihidupkannya kembali GBHN," paparnya.

Namun, Syarief Hasan menambahkan banyak pandangan-pandangan terkait wacana amandemen UUD khusus untuk menghidupkan kembali GBHN.

Dia memberi contoh tidak ada yang bisa menjamin jika dibuka peluang amandemen UUD akan ada kepentingan-kepentingan yang akan masuk seperti membuka kotak pandora. "Dikhawatirkan akan ada free rider (penumpang gelap) ketika dibuka peluang amandemen UUD. Tidak ada yang bisa menjamin perubahan hanya untuk GBHN. Bisa jadi akan banyak pandangan yang muncul dalam amandemen UUD," katanya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Pandangan Lain

MPR bersama Dewan Profesor Unpad menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali GBHN

Syarief Hasan juga menyebutkan pandangan lain, yaitu GBHN cukup diatur dalam undang-undang. Dia memberi contoh masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perencanaan pembangunan diatur dalam UU No. 17 Tahun 2007 dan UU No. 25 Tahun 2004. "Pada waktu itu pertumbuhan ekonomi selalu sekitar 6 persen, selama 10 tahun (2004 - 2014) pengangguran dan kemiskinan berkurang. Artinya, diatur dengan UU juga sudah cukup. Dengan UU sudah bagus, sehingga tidak perlu amandemen UUD," tuturnya.

Problem lainnya, kata Syarief Hasan, siapa yang membuat atau menyusun GBHN. Jika haluan negara dibuat oleh MPR maka haluan negara itu harus dijalankan oleh presiden. "Tapi kita sekarang tidak menganut sistem mandataris MPR. Namun secara implisit kalau halauan negara dilaksanakan presiden maka presiden bertanggungjawab kepada MPR. MPR menjadi lembaga tertinggi lagi. Ini yang perlu didiskusikan dalam FGD ini," katanya.

Syarief Hasan berharap guru besar Unpad bisa memberikan kontribusi pemikiran dan pandangan dalam FGD ini. "Pemikiran dan pandangan dari intelektual kalangan perguruan tinggi lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak terkontaminasi kepentingan politik," ucapnya.

"Pemikiran dan pandangan dalam FGD ini akan dicatat tertulis dan menjadi dokumen negara. Kita akan bahas lagi di Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan di MPR," imbuhnya.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya