Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Institute for Digital Democracy (IDD) Bambang Arianto menanggapi isu hilangnya upah minimum provinsi bagi para pekerja atau buruh dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Disebutkan Bambang, memang ada sedikit revisi terkait pembahasan upah minimum dalam RUU Cipta Kerja. Namun, revisi ini tidak serta merta menguntungkan pihak investor maupun pengusaha.
Advertisement
Bambang menjelaskan, justru ada beleid tentang penyamarataan upah minimum yang menurutnya menguntungkan buruh atau pekerja. Beleid yang dimaksud adalah penyamarataan upah minimum untuk karyawan baru yang masa kerjanya 1 hingga 12 bulan pertama.
"Karyawan baru itu biasanya masih masuk dalam masa training dan pemantauan. Biasanya, perusahaan memiliki SOP yang mengevaluasi para karyawan baru. Dalam banyak kasus, banyak perusahaan yang menurunkan gaji atau bahkan memberhentikan mereka tanpa pesangon apabila kinerjanya dinilai rendah atau tidak memuaskan,” kata Bambang, Selasa (15/9/2020).
Bambang menilai, penyamarataan gaji atau upah minimum dalam RUU Cipta Kerja bisa menjadi jaring pengaman bagi buruh atau karyawan baru. Aturan ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi pemecatan semena-mena oleh perusahaan terhadap karyawan baru berdasarkan evaluasi sepihak dari perusahaan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Bisa Semena-Mena
"Saya pikir peran RUU Cipta Kerja bisa menjadi jaring pengaman bagi para pekerja baru agar mereka diberikan jaminan gaji atau upah minimum yang sepantasnya selama 12 bulan pertama," kata Bambang.
Dengan demikian, menurut Bambang, perusahaan tidak boleh semena-mena menurunkan gaji karyawan baru apalagi seenaknya memberhentikan mereka meski memiliki kinerja jelek.
"Jadi, logikanya RUU Cipta Kerja hadir untuk mengawal para pekerja terutama pekerja yang baru bekerja selama 12 bulan untuk mendapatkan upah minimun yang layak sesuai perkapita daerah masing-masing," kata Bambang
Advertisement