Liputan6.com, Jakarta Para ahli mengatakan, orang-orang dengan disabilitas di Nepal memerlukan perhatian dan perawatan khusus selama pandemi COVID-19. Minimnya fasilitas kesehatan yang memadai membuat mereka rentan terhadap virus.
Kanak Mani Dixit, seorang aktivis hak asasi manusia, menyesalkan bahwa para penyandang disabilitas merasa tidak berdaya dan ditinggalkan selama pandemi. Ia berkata bahwa untuk negara seperti Nepal yang memiliki banyak orang dengan keterbatasan fisik, sikap ini tragis.
Advertisement
“Bahkan di saat-saat normal, penyandang disabilitas merasa diabaikan di Nepal. Tidak hanya kurangnya dukungan pemerintah, masyarakat sipil juga tidak membahas masalah mereka,” katanya pada wawancara yang dilansir dari Deutsche Welle.
Terdapat kekurangan fasilitas untuk penyandang disabilitas Nepal, meskipun konstitusi tahun 2015 menjamin hak-hak para penyandang disabilitas. Hal ini terbukti dengan kurangnya fasilitas Kesehatan yang memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.
Pusat Rehabilitas Cedera Tulang Belakang (SIRC) di Distrik Kavre yang merupakan satu-satunya fasilitas Kesehatan khusus di Nepal untuk masyarakat yang mengalami cedera tulang belakang merupakan salah satu tempat dimana masyarakat disabilitas dapat memenuhi kebutuhan medisnya dalam pandemi. Namun hal itu berubah saat wabah akhirnya mulai masuk dan menyerang pasien disana.
Raju Dhakal yang merupakan seorang spesialis pengobatan rehabilitasi. Dia mengatakan bahwa penjaga keamanan kemungkinan besar menjadi sumber infeksi di fasilitas tersebut karena dia telah mengembangkan gejala ringan, tetapi akhirnya gagal karena terlambat mengenali mengambil tindakan pencegahan virus.
"Pusat kesehatan itu sekarang ditutup. Kejadian di SIRC ini mendemonstrasikan bagaimana para penyandang disabilitas sangat rentan terpapar virus bahkan ketika mereka berada di fasilitas kesehatan yang relatif aman," katanya.
Simak Video Berikut Ini:
Nasib difabel lain?
Laxman Aryal, sekretaris di Kementerian Kesehatan dan Kependudukan, mengatakan bahwa pemerintah setempat telah menginstruksikan semua rumah sakit untuk memperlakukan penyandang disabilitas sebagai kasus prioritas. Namun, salah satu hambatan yang ada adalah pendataan yang tidak jelas.
Sensus 2011 di Nepal melaporkan bahwa terdapat 1,94% tingkat disabilitas di negara tersebut, tetapi berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi. Aktivis mengklaim bahwa hingga 3 juta orang Nepal, atau sekitar 10% dari populasi negara itu memiliki kemungkinan memiliki berbagai disabilitas.
Ada juga kekurangan data tentang berapa banyak orang dengan kebutuhan khusus yang tertular COVID-19. Jageshwor Gautam, juru bicara Kementerian Kesehatan Nepal mengatakan, jumlah penyandang disabilitas yang terinfeksi tidak jelas ada berapa jumlahnya. Karena itu masyarakat disabilitas tidak dapat mendapat penanganan yang maksimal sesuai kebutuhan mereka.
Komisi Perencanaan Nasional Nepal baru-baru ini merilis laporan tentang dampak sosial ekonomi COVID-19 pada populasi negara itu menyoroti bahwa orang yang memiliki berbagai jenis disabilitas, termasuk gangguan penglihatan dan pendengaran, hingga perbedaan secara intelektual dan cedera tulang belakang merupakan masyarakat yang paling rentan terhadap infeksi virus corona.
Pada 19 Juli, Nepal mencatat 57 kasus COVID-19, tetapi sejak itu penularannya meningkat pesat. "Risiko infeksi tinggi di antara penyandang disabilitas," kata Gajendra Budhathoki yang merupakan pengguna kursi roda dan juru kampanye untuk penyandang disabilitas.
“Kebanyakan penyandang berbagai jenis disabilitas fisik atau mental memiliki daya imunitas yang relatif rendah. Banyak cedera tulang belakang memiliki masalah kesehatan seperti diabetes dan tekanan darah tinggi karena mereka tidak dapat berolahraga secara teratur. Karena mereka membutuhkan dukungan fisik dari orang-orang, ada risiko tinggi tertular virus," jelas Budhathoki. Ia berkata bahwa saat ini belum ada paket bantuan dan penyelamatan yang diterima dari pemerintah.
(Vania Accalia)
Advertisement