Liputan6.com, Caracas - Tim pencari fakta PBB menuding pemerintah Venezuela melakukan kejahatan kemanusiaan atas pembunuhan, penyiksaan, kekerasan, dan penghilangan orang. PBB menyimpulkan Presiden Nicolas Maduro terlibat.
Dilaporkan BBC, Kamis (17/9/2020), tim misi PBB menyataka bahwa Venezuela terlibat dalam kekerasan sistemik sejak 2014 yang bertujuan menekan oposisi dan meneror rakyat.
Baca Juga
Advertisement
Presiden Maduro, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan turut memberi perintah untuk kejahatan tersebut, menjadi koordinator operasional, serta memberikan bantuan.
Salah satu contoh operasi kejahatan pemerintah Venezuela adalah dengan metode jebakan senjata. Caranya, mereka sengaja menaruh senjata di area milik loyalis oposisi pemerintah, kemudian pasukan keamanan menggeledah area tersebut untuk menangkap, menyiksa, dan menembak target.
"Misi menemukan landasan beralasan untuk percaya otoritas Venezuela dan pasukan keamaan telah merencanakan dan mengeksekusi pelanggaran HAM serius sejak 2014, beberapa di antaranya termasuk pembunuhan semaunya dan penggunaan penyiksaan yang sistematis, yang menjadikannya kejahatan kemanusiaan," ujar Marta Valiñas, ketua misi PBB.
Investigator menyimpulkan hal tersebut setelah memeriksa 223 kasus.
Laporan tersebut akan diberikan ke Dewan HAM PBB pekan depan. Venezuela akan mendapat kesempatan untuk merespons.
Dubes Venezuela di PBB sudah mengkritik investigasi sebagai bagian dari kampanye Ameirka Serikat. Tim PBB itu juga dilarang masuk Venezuela.
Venezuela sedang diterpa krisis ekonomi selama bertahun-tahun. Partai sosialis yang berkuasa sejak 2007 masih belum bisa memperbaiki ekonomi negara kaya minyak tersebut. Jutaan rakyatnya lantas kabur ke negara-negara tetangga seperti Kolombia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
AS Cegat dan Sita Kiriman 4 Kapal Tanker Minyak Iran untuk Venezuela
Amerika Serikat (AS) menyatakan pada Jumat (14/8) bahwa pihaknya menyita kiriman bahan bakar dari empat kapal Iran yang hendak menuju Venezuela --sehingga mengganggu jalur pasokan kedua negara yang menentang sanksi-sanksi AS tersebut.
Presiden AS Donald Trump menyebut Iran semestinya tidak mengirimkan kargo ke Venezuela. Ia juga mengatakan minyak sitaan itu kini dalam perjalanan menuju Houston, Texas, dan mungkin telah tiba.
"Minyak sitaan itu menuju ke Houston. Dan, mereka di sana. Kami memindahkannya, dan bergerak menuju Houston," kata Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, sebagaimana diwartakan Reuters, dikutip dari Antara, Sabtu 15 Agustus 2020.
Kementerian Kehakiman AS menyatakan kargo yang disita itu kini berada di bawah penahanan negara "dengan bantuan dari partner luar negeri."
Kementerian menambahkan bahwa minyak sitaan dari empat tanker itu sebanyak sekitar 1,116 juta barel, angka terbesar yang pernah disita AS dari Iran sejauh ini.
"Diplomasi kami, yang dipimpin oleh Perwakilan Khusus untuk Iran, Brian Hook, mampu menahan pengiriman ini dan juga membantu Kementerian Kehakiman dan Keamanan Dalam Negeri untuk mengeksekusi perintah penangkapan," kata kementerian dalam keterangannya.
Namun, baik Kementerian Kehakiman ataupun Kementerian Luar Negeri tidak menyebut secara rinci mengenai kapan, di mana, maupun bagaimana proses penangkapan tersebut dilakukan.
Pada keterangan itu, juga tidak diungkapkan tentang langkah-langkah yang dijalankan oleh Hook, yang pengunduran diri dari jabatannya diumumkan awal pekan ini, dalam melakukan penangkapan.
Advertisement