Liputan6.com, Jakarta Kabar duka datang dari keluarga Alwi Shahab. Alwi Shahab yang juga sejarawan Betawi meninggal dunia.
Dari informasi yang diterima, Alwi Shahab mengembuskan napas terakhir pada pukul 03.00 WIB.
Advertisement
"Inna lillahi wa inna ilahi rojiuun. Telah berpulang ke rahmatullah Alwi Shahab, sejarawan Betawi, wartawan harian Republika. Meninggal Kamis, 17 September 2020 jam 03.00 WIB," demikian kabar yang diterima Liputan6.com, Kamis (17/9/2020).
Rumah duka berada di Kompleks Balekambang Asri no 14, Gang Haji Sarbii, Jalan Mungggang, Condet, Jakarta Timur.
Alwi Shahab lahir di Jakarta, 31 Agustus 1936. Ia adalah seorang wartawan yang telah menjalani profesinya selama lebih dari 40 tahun. Kariernya dimulai tahun 1960 sebagai wartawan, kantor berita Arabian Press Board di Jakarta.
Sejak Agustus 1963 ia bekerja di Kantor Berita Antara. Berbagai jenis liputan digelutinya saat di Antara, mulai dari reporter kota, kepolisian parlemen, sampai bidang ekonomi. Selama sembilan tahun (1969-1978), anak Betawi kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat ini, menjadi wartawan Istana.
Sepanjang bertugas sebagai wartawan, Alwi Shahab kerap melakukan liputan di luar negeri. Di antaranya, tahun 1983 ia mengunjungi perbatasan Malaysia-Thailand untuk meliput operasi penumpasan gerakan Komunis oleh tentara Malaysia.
Bergabung dengan Republika
Pensiun dari Antara tahun 1993, ia bergabung dengan HU Republika. Koran yang usianya relatif muda ini, tanpa kesulitan Abah Alwi — begitu ia biasa dipangil oleh rekan-rekan yuniornya — langsung beradaptasi dengan lingkungan baru yang dihuni oleh orang-orang muda.
Dengan komitmennya yang tinggi terhadap kewartawanan Abah Alwi langsung menjadi contoh bagi rekan yuniornya, bagaimana seseorang bisa menjadi wartawan sejati, walau telah memasuki usia senja. Ia tak kalah produktif dibandingkan dengan rekan yuniornya.
Sejak di Republika, ia mulai menulis artikel-artikel tentang sejarah kota Jakarta, baik dalam bentuk tulisan lepas, di rubrik kebudayaan, maupun di rubrlik Sketsa Jakarta dan Nostalgia.
Walau telah lebih enam tahun menulis, ia seolah-olah tidak kehabisan bahan untuk mengangkat permasalahan kota Jakarta, terutama kisah-kisah tempo doeloenya. Untuk objektivitas penulisan, ia bukan saja mendatangi nara sumber, menelaah berbagai koleksi dan bahan, tetapi juga mendatangi tempat yang menjadi bahan penulisannya.
Advertisement