Liputan6.com, Jakarta Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menilai keberadaan calon tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
"Karena pilihan publik terbatas. Kalau calonnya hanya satu pasang maka publik terbatas pilihannya," ujar Wijayanto dalam diskusi yang digelar secara daring, Rabu, 16 September 2020.
Advertisement
"Seandainya calonnya lebih banyak itu menjadi kabar baik bagi demokrasi karena kita memberikan pilihan kepada publik," ucapnya lagi.
Wijayanto juga menilai adanya fenomena calon tunggal membuat visi misi calon kepala daerah menjadi tidak tajam lantaran tidak ada pembanding dengan visi misi dari kandidat lain.
"Tidak ada yang mengkritik visi misi salah seorang pasangan calon sehingga visi misi menjadi tidak tajam, tidak ada yang mempertajamnya, kita kehilangan peluang untuk mengkontestasikan visi misi dari lebih dari satu calon," jelasnya dilansir Antara.
Hal tersebut juga membuktikan gagalnya partai politik dalam menjalankan kaderisasi untuk menelurkan pemimpin selanjutnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Macetnya Kaderisasi
Wijayanto berpandangan, macetnya kaderisasi dan regenerasi pada partai politik saat ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Ketika semua sudah berubah, reformasi sudah berjalan dua dekade tetapi di partai politik kita masih mencatat adanya oligarki, adanya pemimpin partai yang tidak berganti-ganti, adanya ketidaksetaraan di sana, padahal partai politik adalah pilar demokrasi," ucapnya.
Advertisement