Liputan6.com, Jakarta - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 16-17 Agustus 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan di 4 persen.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini mempertimbangkan hasil assessment ekonomi global, ekonomi domestik, kondisi eksternal, nilai tukar, inflasi, stabilitas sistem keuangan maupun sistem pembayaran.
Advertisement
“Rapat dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 16 dan 17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan Bi 7 day reverse repo rate sebesar 4 persen. Demikian juga deposit facility tetap sebesar 3,25 persen dan suku bunga lending facility tetap sebesar 4,75 persen,” kata Perry dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - September 2020, Kamis (17/9/2020).
Keputusan ini, lanjut Perry, mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah.
“Untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi covid 19 Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas. Termasuk dukungan BI kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN tahun 2020,” tutur Perry.
BI Diprediksi Tahan Suku Bunga Acuan di Level 4 Persen
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan September, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7RR) di level 4,00 persen dengan mempertimbangkan beberapa faktor.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menyebutkan sejumlah faktor yang mendasari perkiraan tersebut. Faktor pertama, Josua menyebutkan perkembangan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini yang menunjukkan volatilitas nilai tukar rupiah secara rata-rata meningkat pada bulan September
Hal ini, terindikasi dari one-month implied volatility yang meningkat menjadi 11,0 persen sepanjang bulan September dari bulan Agustus yang tercatat di kisaran 10,7 persen.
“Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka BI cenderung akan mempertahankan suku bunganya agar nilai tukar rupiah tetap stabil di jangka pendek,” ujar Josua kepada Liputan6.com, Kamis (17/9/2020).
Faktor kedua, lanjut dia, adalah adanya pernyataan Bank Indonesia pada RDG sebelumnya, terkait prioritas BI untuk mengedepankan kebijakan QE dalam rangka mendukung pemulihan perekonomian Indonesia.
“Dengan demikian, peluang perubahan suku bunga pada RDG bulan ini relatif rendah. Namun demikian, ruang penurunan suku bunga masih ada namun terbatas,” jelas Josua.
Josua menambahkan, beberapa alasan diantaranya ialah tingkat inflasi yang rendah. Seiring dengan inflasi Agustus yang tercatat 1,32 persen yoy, ini lebih rendah daripada batas bawah target BI di tahun ini sebesar 2 persen. “Rendahnya inflasi mengindikasikan masih lemahnya permintaan dan daya beli masyarakat di tengah pandemic Covid-19,” kata dia.
Selain dari sisi inflasi, diperkirakan defisit transaksi berjalan (CAD) juga akan mengalami penurunan yang signifikan di kuartal 3. Iini merupakan akibat neraca dagang yang membukukan surplus tinggi. Pada bulan Juli-Agustus, surplus neraca dagang mencapai USD 5,56 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan neraca dagang pada kuartal I dan kuartal II di 2020 sebesar USD 2,6 miliar dan USD 2,9 miliar.
“Kenaikan surplus ini dipengaruhi oleh laju penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan penurunan ekspor. Dengan demikian, untuk menopang pelemahan permintaan daya beli dan melambatnya aktivitas ekonomi, BI akan cenderung terus melanjutkan kebijakan longgarnya, baik melalui suku bunga maupun non-suku bunga,” tutur Josua.
Lebih lanjut, Josua mengatakan BI mungkin akan memberikan stimulus melalui kebijakan non-suku bunga untuk sementara waktu, seiring dengan masih adanya tekanan kepada Rupiah.
“Bila Rupiah cenderung mulai stabil, maka ruang untuk melakukan penurunan suku bunga menjadi semakin terbuka,” pungkas dia.
Advertisement