Pengamat Sebut Jika Industri Properti Pailit yang Rugi Pasti Konsumen

Beberapa pembangunan proyek properti seperti perumahan terancam ditunda, bahkan ada yang dinyatakan pailit akibat covid-19.

oleh Athika Rahma diperbarui 18 Sep 2020, 17:56 WIB
Pemilik rumah membuat rangka penguat dapur rumah di Perumahan Griya Samaji,Cieseng, Bogor. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Bisnis properti menjadi satu dari sekian sektor bisnis yang terhantam badai Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 lalu. Beberapa pembangunan proyek properti seperti perumahan terancam ditunda, bahkan ada yang dinyatakan pailit.

Praktisi hukum dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo menyatakan, dari pernyataan pailit ini, pihak yang paling dirugikan adalah konsumen. Alasannya, konsumen adalah pihak yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu jika proyek sedang dalam masalah atau tidak.

"Dari segi value jelas pasti rugi, kalo ditanya siapa paling rugi pertama, pasti konsumen, kedua bank, ketiga developer. Menurut saya kita harus lihat ini untuk selamatkan industri properti," kata Erwin dalam tayangan virtual, Jumat (18/9/2020).

Dalam pasal 2 ayat (1) UU 37/2004, terdapat 3 jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen.

Khusus kreditur separatis dan preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan.

Erwin bilang, selama ini konsumen digolongkan sebagai kreditur konkuren dalam proses kepailitan, padahal konsumen lah yang justru paling dirugikan.

Menurutnya, seharusnya konsumen ditempatkan sebagai kreditur preferen bukan kreditur konkuren karena konsumen tidak terlibat kesalahan proyek, misalnya dari kontraktor atau pengembangan.

"Makanya justru konsumen harus jadi kreditur preferen karena dia tidak tahu apa-apa, tidak salah apa-apa, nyicil, nyicil, nyicil tahu-tahu pailit, begitu pailit dia terakhir, iya kalau ada sisanya," tandas Erwin.

Erwin bilang, industri properti adalah lokomotif ekonomi nasional yang memiliki multiplier effect ke 175 industri lain. Ketika terjadi distrust (hilangnya kepercayaan) dari konsumen, industri properti sendiri lah yang akan mengalami kerugian.

"Proyek properti siapa yang rugi? Bagaimana mengembalikan kepercayaan konsumen kalau terjadi distrust, akhirnya mereka akan beli yang jadi saja (properti). Lalu, bagaimana dengan pre project selling? Itu harus dipikirkan," ujarnya

Saksikan video di bawah ini:


Industri Properti Kembali Suram dengan Adanya PSBB Jakarta

Kredit Rumah. Dok Unsplash

Seperti sektor lainnya, industri properti juga mengalami tekanan yang sangat dalam selama pandemi Covid-19. Tekanan tersebut semakin parah dengan memberlakukan kembali PSBB di DKI Jakarta sejak 14 September lalu.

Keputusan menarik rem darurat oleh Gubernur Anies Baswedan ini bertujuan menghentikan penyebaran virus Corona di ibu kota.

Pengamat Properti Ali Tranghanda meyakini PSBB jilid II ini akan kembali menggerus pasar properti Indonesia di akhir kuartal III tahun ini. Sebagaimana yang terjadi saat PSBB jilid I diawal Maret 2020 lalu.

"Anjloknya pasar properti di akhir Mei lalu, karena PSBB awal. Kemudian masuk dua bulan ini properti justru kembali meningkat. terjadi akibat pelonggaran PSBB. Ini sangat tergantung dari pengetagan atau tidaknya PSBB," tegas dia dalam diskusi virtual bertajuk '75 Tahun Indonesia Merdeka, Properti Penggerak Perekonomian Nasional,' Kamis (17/9/2020).

Ali mengatakan, pemberlakuan PSBB di seluruh wilayah Jakarta membuat para pengembang kelas menengah sampai kecil sangat tertekan. Menyusul konsumen akan terpancing untuk mengetatkan cash flow sebagai antisipasi kemungkinan terburuk sampai pengetatan wilayah kali dibuka.

"Dampaknya akan membuat periode ketidakpastian semakin panjang. Artinya PSBB sangat mempengaruhi pasar properti saat ini," paparnya.

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya