Liputan6.com, Jakarta Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli hadir secara virtual dalam sidang perdana gugatannya mengenai ambang batas pemilihan presiden (Pilpres) (Presidential Threshold) sebesar 20 persen di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai pemohon, Rizal mengatakan jika ambang batas itu masih digunakan pada Pemilu selanjutnya, maka akan melanggengkan apa yang dia sebut demokrasi kriminal.
Advertisement
"Demokrasi bukan hanya prosedural, tapi juga berubah menjadi demokrasi kriminal, ranah money politics jadi dominan," kata Rizal saat menyampaikan argumentasi pendahuluan gugatan di Mahkamah Konstitusi secara daring, Senin (21/9/2020).
Rizal meyakini, basis demokrasi kriminal bersumber dari ambang batas pilpres 20 persen. Sebab menurut dia, butuh dana besar untuk menjadi kepala negara, bahkan sejak di level kabupaten/kota dan provinsi untuk mendapat dukungan partai demi mencapai ambang batas tersebut, dengan prasyarat imbal balik dana ketika terpilih.
"Pemilihan bupati saja butuh dana Rp 20 M sampai Rp 40 M, gubernur jauh lebih mahal, apalagi presiden. Sehingga calon yang tak punya uang tak fokus kepada rakyat, malah ke bandarnya," kritik Rizal.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Menghambat Calon Berkualitas
Karenanya, Rizal berpandangan, adanya ambang batas presiden akan menghambat calon kapabel yang memiliki integritas, namun tidak memiliki dana besar untuk mencalonkan diri.
"Hal ini (ambang batas presiden 20%) menghambat munculnya tokoh kapabel yang memiliki integritas untuk masuk kompetisi demokratis, Ini kesempatan bersejarah mengubah Indonesia untuk menciptakan sistem demokrasi dan amanah jadi kita bisa muncul di berbagai level," katanya.
Advertisement